19 Juni
Aku
mengagendakan menegrjakan suatu kerjaan yang sudah lama kutunda. Namun
akhirnya, kembali aku menunda pekerjaan ini. Bukan karena apa. Aku bersimpati
dan terinspirasi. Mbak Hesti, seperti biasa datang dengan keceriaannya ke
kamar. Ada atau tidak ada yang dilakukan ataupun diobrolkan, dia rutin
bertendeng ke sini.
Aku sudah
memulai aktivitas dengan leptopku. Mbak Hesti seperti biasa, tiduran di kasur.
Tiba-tiba, percakapan itu pun dimulai dengan pertanyaan, “Itak sayang sama
orang tua Itak?”
Sontak
aku menghentikan aktivitasku. Jawaban “Iya” dariku memancing pertanyaan
selanjutnya. “Apa yang Itak lakukan untuk mengekspresikan rasa sayang Itak?”
Aku berpikir dan berargumen. Dari tanya jawab singkat itulah, Mbak Hesti mulai
dengan curhatnya.
Kedalaman
hati seseorang siapa yang tahu sih, kecuali dia dan Dia? Mbak Hesti, manusia
normal pada umumnya yang menjelma sebagai seorang asdos ini kami kenal sebagai
sosok perempuan yang selalu ceria. Lewat curhatnya aku dibukakan sebuah tabir
yang memaparkan realitas di balik kisah hidupnya selama ini. Kita memang tidak
bisa menebak kisah semacam apa yang tercongkol di diri seseorang, di balik
pembawaannya sehari-hari. Aku mengenal Mbak Hesti sekitar empat bulan. Namun,
aku merasa baru hari ini aku mengenal si penyuplai makanan kami ini. Hari ini,
untuk pertama kalinya aku melihat kristal duka menetes dari matanya.
Aku sama
sekali tidak merasa rugi menunda kembali tugasku. Aku begitu bersimpati dengan
sosok yang sudah aku anggap sebagai kakakku ini. Berbagi cerita dukanya denganku
mungkin tidak akan berarti banyak. Mungkin aku tak atau belum bisa memberikan
saran yang bijak. Namun aku yakin, hatinya akan lebih tenang manakala ia telah
berbagi duka denganku. Aku mendapatkan
suatu tamparan maha dasyat dari curhatannya. Saking dasyatnya hanya daaat
dirasakan oleh hati. Selama seseorang itu memiliki hati, pasti ia dapat
merasakannya.
Aku
kembali teringat. Tindakan yang aku anggap sebagai “pertengkaran” dengan Mas
Dedi. Segala hal yang kurasa, telah membuat jarak menganga lebar di antara
kami. Oh sungguh bukan di antara kami jarak itu menganga lebar. Jarak itu,
hanya aku yang membuatnya. Ia, sosok yang selama ini tak cukup kukenal, begitu
menaruk posisinya sedekat mungkin denganku. Akulah adiknya yang amat tolol
dengan membuat jarak seperti ini.
Tuhan
sepatutnya aku bersukur. Rasa sukur itu tidak hanya sebatas kata Alhamdulillah.
Sepatutnya aku harus lebih peka dan peduli. Mendengar cerita Mbak Hesti yang berjuang
sekuat tenaga melakukan pendekatan dengan kakak dan ibu kandungnya sendiri,
membuat aku bertekad melakukan hal yang sama. Aku ingin kembali ‘bertengkar’
dengan Mas Dedi seperti waktu kami kecil dulu. Laki-laki paling ‘menyebalkan’
yang aku namai sebagai Troble Maker. Aku tidak akan menganggap ‘pertengkaran’
itu sebagai ‘jarak’ lagi.
Aku tak
akan sungkan memulai terlebih dahulu. Kemarin-kemarin, Mas Hadi selalu aktif
menanyakan kabar dariku. Baik sms maupun chatting. Lebih sering melalui chatting.
Ketika aku didapatinya tengah OL, dia langsung memulai obrolan dengan
menanyakan “posisi”. Pertanyaan selanjutnya adalah seputar KKN. Ketika aku
mulai jengah dengan pertanyaannya, di suatu kesempatan saat dia memulai chatting
dengan menanyakan pisisi, aku menjawab di mana aku dan langsung lanjut mengatakan
aku belum tau KKN di mana. Sebuah sindiran atas pertanyaan lanjut yang akan dia
lontarkan. Oh, bahkan dia lebih peduli dengan kuliahku dari pada diriku yang
sedikit acuh dengan kuliah. Riskan ketika aku teringat bahwa tinggal beberapa
hari lagi ujian, kalau bukan karena Mas Hadi menanyakan kapan aku ujian.
Bukankah selain menjadi adik yang tolol, aku juga mahasiswa yang tolol?
Aku kini
yang memulai duluan. Aku memulai obrolan via chating dengan meniru gaya
khasnya. Pertama aku bertanya “posisi”. Di malam selarut ini dia masih di
kantor. Dia bercerita beberapa hari ini dia lembur di kantor karena banyak
kerjaan. Oh, pasti Mas Hadi begitu kesepian di sana. Mengejar karir di sebuah pulau tempat
ari-arinya disimpan. Dia sendirian jauh dengan sitri dan anaknya. Ia pula jauh
dengan mamah yang begitu ia hormati. Ia juga jauh dengan bapak dan
adik-adiknya.
Akhirnya,
aku harus berubah. Aku bersukur memiliki keluarga yang utuh. Aku memiliki
keluarga yang begitu oeduli dan selalu bertambah kepeduliannya setiap hari.
Rasa sukur itu, tidak hanya sebatas kata Alhamdulillah. Rasa sukur itu adalah
tindakan dan kepekaan. Tindakan perubahan yang akan kulakukan untuk keluargaku.
Meski nanti mereka akan terheran dan geleng-geleng kepala dengan tingkahku,
namun yakinlah! Aku punya versi sukses menurut diriku sendiri. Jalanku pun
berbeda. AKU SAYANG KALIAN KARENA ALLAH J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar