Ibu, hari ini aku
menangis. Aku tak mampu membendung air mata yang akhirnya mengucur deras keluar
saat aku masih di kampus. Dalam radius sekitar 30 km dari rumah, dapatkah mata
batinmu mendengarkan sesenggukan tangisku?
Hari ini aku menjadi
pecundang Ibu. Aku merasa menjadi makhluk yang sangat mengecewakan Ibu. Ibu, oh
ibu. Bahkan sejak kelahiranku, sebelum akhirnya aku bisa mengucapkan satu dua
huruf, engkau sudah lebih dulu bangga padaku. Hanya kemampuan sekecil itu, seorang
Ibu menjadi bangga. Lalu bukankah tidak ada manusia yang dilahirkan untuk menjadi
makhluk yang mengecewakan.
Aku seperti berada di
dalam batas kesabaranku Ibu. Lebih dari 21 tahun aku mendengar komentar mereka,
semua orang yang berada di sekelilingku. Mengapa komentar mereka selalu
seragam? Mengapa akhirnya aku dikenal sebagai Ita yang lemot Ibu? Mengapa aku
berbeda dengan putra pertamamu, seorang anak yang membanggakan? Mengapa aku
berbeda dengan kakakku?
Hari ini aku kecewa. Aku
sedih dan berduka. Aku kecewa dengan teman-temanku yang teramat sering
mengomentari kelemotanku. Bukan! Sejujurnya, aku lebih kecewa pada diriku
sendiri! Apakah memang seperti inilah diriku? Apakah memang tidak ada yang bisa
dilakukan untuk merubah diriku yang sepicik ini?
Aku lari menjauhi mereka
semua Ibu. Aku menjauhi orang-orang yang tidak percaya bahwa setiap orang
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahwa tidak ada kata sempurna
di dunia ini. Dengan berurai air mata aku berlari menjauhi mereka Ibu. Aku melepas
jaketku, dan membenamkan isak tangisku di dalam sana. Di depan front offise aku
bersamaan dengan isak tangis itu, batinku menjerit. Aku dipaksa keadaan untuk
selalu mengingat kejadian hari ini. Bahwa nanti, saat aku telah menjadi penulis
terkenal dan bermanfaat, pernah terjadi suatu duka di hari ini, 6 Juni. Aku
semakin terisak Ibu. Dapatkah mata batinmu mendengar suara isak tangisku?
Dan ternyata aku butuh
terus berbenah Ibu. Rupanya aku merasa tersakiti dengan perkataan seorang lelaki
yang kasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar