15-17
Maret 2013
#Rencana
Oke
kawan, sebelum kisah tentang pengalamanku mendaki puncak lawu (yang mungkin
akan alay tapi faktanya) dimulai, akan kuawali dengan pertanyaan. Sebelum
kalian turut merasakan pengalamanmendaki lewat ruh tulisan yang kulahirkan, coba
renungkan pertanyaan ini.“Pernahkah kalian benar-benar mengilhami apa itu
‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian?’... ‘Pernahkah kalian
melawan fisik kalian sendiri, demi mimpi, pencapaian yang selama ini kalian
harap? Pernah, kalian baru pertamakalinya naik gunung, langsung gunung tertinggi
ke-3 se Pulau Jawa, dengan target mencapai puncak 3200 sekian DPL?’ Segeralah bersiap,
pasang kuda-kuda, dengarkan setiap kata yang akan membuka matamu. Mungkin ini
akan menjadi lebai, tapi kelebaian itulah yang aku alami. Masih hidup adalah hadiah
terindah :D. Berani merasakan beragam kegagalan untuk mewujudkan mimpi, adalah
tonggak dari perjalanan yang kutemukan. Puncak mimpi itu terasa bahkan lebih
lezat, ketika kegagalan itu beragam variasi
:D
-------------------------------------------------------------------------------------------
Pendakian
pertamaku, Menuju Puncak Lawu. Awalnya, atas keinginan mendaki Semeru, Mas
Barri mengajak kami naik Lawu untuk sekedar berlatih. Hanya membutuhkan sedikit
pertimbangan, aku dan Kopral Jono (Nadhia) mengiyakan ajakan itu. Sampai
akhirnya, pendakian ini merupakan kolaborasi antara Fisipol dan FIB (Mas Barri,
Mas Vebbi, Imam, Ridho, Nadhia, Itok), yang lebih tepatnya, anak UPI, HMI, dan
kami perempuan-perempuan rempong yang sedang mangkir dari tanggung jawab
organisasi dan tugas kampus.
Rencana
awal keberangkatan kami pukul 16.00 WIB. Namun sudah pasti momen seperti ini
terjadi. Kopral Jono dengan kerempongannya yang entah kuliah hari Jumat
menumpuk lah, tas hasil pinjaman dari Papah Miqdad bermasalahlah, deadline
tugasnya banyak lah, dan parahnya, kebutuhan-kebutuhan untuk naik pun masih
rempong minjem sana-minjem sini. Alhasil, kami berangkat ba’da Magrib dengan
menggunakan 3 motor. Semacam hendak bernafas lega, akhirnya... Tapi ternyata
belum. Di tengah perjalanan, kami diuji dengan rantai motor Mas Vebbi yang
sedikit bermasalah, dan cobaan utamanya adalah, jalanan yang menanjak sehingga
rasa kantuk kami bubar seketika, membuatku pribadi komat-kamit mengucap
istighfar dan berdoa.. “Ya ALLAH, saya belum nikah, tolong selamatkan saya sampai
tujuan!”
#Bermalam di Kamar Kulkas
Kami
sampai di TKP sekitaran pukul 22.20 WIB. Langsung kami mampir warung makan,
mengisi perut, menginap dan memarkirkan motor. Harga penginapan cukup murah. Tarif sewa kamar, setiap orang hanya dikenai
tarif Rp 3000, dan harga 1 motor untuk 3 hari 2 malam hanya Rp 5000.
Udara
di sekitar, jangan ditanya. Dinginnya kamar, seakan tak mau kalah dengan
dinginnya udara luar di kaki gunung. Meski ada yang asik mendengkur dan
menertawakan dengkuran, all of us
tengah berkutat dengan dinginnya udara kaki gunung yang menyusup masuk kamar. Bahkan
kakiku, sampai bergetar sendiri saking dinginnya. Tengah malam aku terbangun karena
merasakan betapa udara sangat dingin dan merasakan kakiku digerakkan oleh ‘zat
mistis’ itu, yang tentu saja tanpa tedeng aling-aling menerobos tajam ke
tulang, tanpa melewati gundukan daging dan lemak. Bangun-bangun, kami bertanya
“Kita tidur di kulkas ya?”
#Awal
Pendakian yang Rempong
Pelangi yang menghiasi langit menjadi santapan
pagi kami dan seakan mengucapkan “Selamat
memulai pendakian”. Kuambil gambar dan memandanginya dalam diam. Aku tengah
cuek dengan kawan-kawanku saat itu, mereka sedang rempong keluar masuk kamar
mandi dengan urusan mereka sendiri-sendiri. Dalam diam yang menyimpan tanya
“Ini kapan jadinya naik, kalo mereka pada ribet keluar masuk kamar mandi terus”,
kutatap pelangi yang masih menggantung di langit dari pintu rumah makan.
Keningku
berkerut menatap kabut yang turun semakin pekat. Di samping kawan-kawanku yang
tengah rempong itu, ternyata musim juga tengah rempong mengatur cuaca. Hujan
kadang turun, berhenti sebentar, dan turun lagi. Bayang-bayang akan cerita Mas
Barri membuatku sedikit resah. Lebar cerita yang diutarakannya, tertangkaplah
dengan otakku, satu kata yang krusial, “HIPOTERMIA”. Aku menggeleng dalam. Aku
sadar tengah melamun. Kesadaranku dipecah oleh suara bapak-bapak yang ternyata
sudah di belakangku “Mbak Kecil ini mau
Naik ya?” Oh tidak, aku menangkap ekspresi ragu dari nada pertanyaannya.
Aku
berencana tidak terlalu mengambil pusing masalah ini. Aku lebih fokus pada
masalah Kopral Jono yang kembali hadir dengan kerempongannya. Tuhan
mendatangkan tamu agung padanya pagi itu. Tamu yang akan menemaninya selama kurang
lebih satu minggu. Tamu yang aku yakin bakal merepotkan sekali bila ikut
mendaki. Menstruasi hari pertama bagi seorang cewek, itu sangat cetar membahana
sekali saudara, saya tidak BERBOHONG!!!.
Tak
lama setelah itu, si Kopral Jono sibuk dengan urusan ini itu. Meresahkan ini
itu. Menakutkan ini itu. Terlebih saat si bapak-bapak mengatakan, bahwa
terdapat aturan no 11, bagi seorang perempuan yang sedang ‘M’, sangat pantangan
untuk naik. Hanya satu kalimat dari bapak-bapak tersebut masuk ke telinga kami,
ekspresi wajah kami serempak berubah. Nanar.
Mas
Barri dengan mimik muka tenang, menggeleng tak memercayai. Aku pun kehilangan
tingkah, hanya bisa diam tak tau harus bagaimana. Kalau sampai pendakian ini
gagal, sesuatu sekali bukan, mengingat kami sudah bersusah payah memahami medan
jalan berliku yang sangat tidak pengertian, melawan kamar bersuhu rendah
seperti kulkas, membuat Imam kecewa untuk yang kedua kalinya. Kesempatan kali
ini, adalah pendakian keduanya di lawu, setelah sebelumnya hanya sampai pos 2,
dengan alasan ada cewek yang tak kuat. Kalo kesempatan kedua ini pun gagal,
satu kata, KECEWA!!! Oh NO!
Namun,
seakan tidak ingin mengecewakan, Nadhia cepat-cepat mengajak untuk memulai
pendakian. Sudah tak ada waktu lagi. Kami akhirnya memulai pendakian, ya meski
sedikit ragu. Toh akhirnya kita mulai mendaki dari cemoro sewu. Perjalanan
dimulai kawan. Rasakan sendiri sensasinya :D
#Sisa
Nafas untuk Pos 1 dan Pos 2
Kata
orang, mendaki bersama di gunung, akan membuat kita tahu bagaimana watak asli
seseorang. Untuk benar-benar mengenali diri sendiri pun, kita harus keluar dari
zona yang menjadi radius keseharian kita. Aku menyadari, bahwa watak asli sudah
ditampakkan kawan-kawanku ini dari sejak persiapan perjalanan. Siapa yang
benar-benar peduli, mengerti, berjiwa pemimpin, mengayomi, care lah istilahnya, sudah bisa ditangkap kamera otak manusia.
Kami
mulai mendaki dengan medan tak terjal tapi miring. Sepanjang jalan kami
berpapasan dengan pendaki lainnya. Umumnya mereka adalah anak pecinta alam. Seperti
yang tergambar di benakku, mereka adalah kumpulan orang berwajah ‘sangar’, menggunakan
pakaian compang-camping yang bolong-bolong kayak gembel, bahkan hanya
menggunakan celana pendek tak berkaos, rambut acak-acakan seperti sebulan ngga
dikeramas, kompleks pemandangan bermuka suram seperti itulah. Namun
gambaran seperti itu langsung ditepis dengan realitas yang menampar otakku
seketika. Sesangar dan sehancur apa pun, mereka yang mengaku pecinta alam dan
memiliki hobi mendaki gunung, adalah potret manusia yang menjunjung tinggi
kepedulian, jiwa sosial dan tata krama. Ketika berpapasan dengan pendaki
lainnya, selalu menyapa dengan sopan. “Mari Mas, Mba””Duluan Mas, Mba”. “Dari
mana Mas dan Mba ini?””Pos selanjutnya masih jauh ngga ms, Mba?”... Dan pertanyaan-pertanyaan
lainnya. Kami yang meski tak saling kenal, merasa sudah akrab dengan
sendirinya. Kami yang berasal dari daerah berbeda-beda, tetapi merasa
sekomunitas di gunung ini. Tata krama dengan warga pribumi pun tidak kalah. Mereka
yang mayoritas mengaku anak kota, tanpa enggan dan risih menyapa penduduk
pribumi baik yang sudah sepuh maupun belum, dengan bahasa jawa halus yang fasih
dan ramah. Saya saja kalah! Tuhan telah memberikan pelajaran secara langsung
padaku, membuka mata hati hamba-Nya lebar-lebar. :D
Bersyukur,
sifat ramah dan saling peduli terus tampak dari kawan-kawanku, meski secapek
apa pun kami. Medan di awal pendakian memang tak begitu menguras tenaga, hanya saja
setelahnya kami dihadapi dengan tanjakan yang lumayan terjal, yang membuat kami
merasa cepat lelah terlebih dengan bawaan kami.
Sebelum
hari H ini, aku sempat menyempatkan diri membaca blog para pendaki yang sudah
mencapai puncak lawu. Mereka mengatakan bahwa pos dengan medan paling berat
adalah pos 1 dan 2, setelahnya, merupakan jalanan yang lebih enak dan cepat
dilalui. Aku sangat yakin itu bukan hoak. Sudah kubuktikan sendiri. Aku kira aku
akan sukar untuk capek dan terus bersemangat. Namun kenyataan berkata lain.
Ternyata aku sadar, aku memiliki semanagt tinggi, tapi terkadang kekuarangan
fisik yang cepat lelah mampu menenggelamkan semangatku dan membuatnya tidak
muncul ke permukaan kembali.
Sepanjang
perjalanan Nadhia rempong menanyakan di mana letak sumber air. Tak ketinggalan,
keluhan demi keluhan menyembur dari mulutnya yang tampak seperti orang menahan
beban. Aku sendiri, dalam keadaan seperti ini lebih cepat merasa capek. Rasa
capek nampak sekali dari bunyi nafasku yang tersenggal-senggal. Sepanjang
perjalanan, akulah yang paling akhir, disusul Mas Vebbi di belakangku. Iya,
kamilah perempuan-perempuan rempong. Nadhia si nnak menwa yang sedang menemui
tamunya. Saya mahasiswi cungkring yang berjuang sekuat tenaga mencapai puncak
Lawu dalam pendakian pertama. Betapa malangnya para lelaki itu yang harus
menghadapi perempuan rempong seperti kami. #Semacam Stand Up Comedy
Shelter
1 dan 2 dilewati. Sepanjang jalan, kami hanya sebentar istirahat. Tidak sampai
5 menit kami berhenti, Imam sudah melanjutkan langkah, dan harus kami susul
segera. Di shelter 1 dan 2 pun kami istirahat tidak sampai 10 menit. Bekerja
kalo sama cowok, tenaga memang harus disamakan ya.. Sangat aku sadari itu.
Kalau saja pendakian ini personilnya srikandi semua, yakin dah! Istirahat di
shelter 1 bisa memakan waktu 1 jam. Dan aku percaya, itu akan memakan waktu dan
hanya bikin boring (ops, bukan maksut merendahkan para srikandi lhoo).
Taraaaa,
akhirnya sampai juga di Pos 1. Di Pos 1 ini, terdapat warung angkringan yang
menjajakan gorengan dan minum. Kami tidak terlalu lama menghabiskan waktu untuk
beristirahat di pos 1. Kalau para lelaki mungkin mereka berada dalam kedaan
normalnya. Cuman kami, 2 srikandi rempong, Kopral Jono masih terus bertanya di mana
letak sumber air sambil menyeka minyak kayu putih ke perutnya, dan aku sendiri,
diam dan hanya bunyi nafas tersenggal yang kukeluarkan. Semacam kesenjangan
sosial ya :p
Kami
kembali harus berkutat dengan tanjakan yang semakin terjal. Menuju pos 2 memang
tak bisa dianggap enteng. Rasa letih dan capek seakan sudah mengepul dalam
perjalanan menuju pos 2. Tak heran aku lebih cepat berhenti untuk istirahat.
Nafas semakin tersenggal. Rasa letih itu
bak jin yang mempengaruhiku untuk mengibarkan bendera putih dalam pendakian
ini. Oh NO?!
Sesampainya
di pos 2, aku duduk terlentang. Nadhia berkicau, saya lebih memilih untuk diam.
Aku lupa, siapa yang saat itu berdoa agar kita bisa mencapai puncak secepatnya
untuk mengejar sunset. Hanya saja
setelah suara itu, aku langusng bilang “AAMIIN”, cuman itu merupakan suara yang
menyebalkan, karena dengan desahan nafas seadanya seperti orang tak berdaya. Kontan
Mas Vebbi menanggapi dengan mantab, “AAMIIN!”. Hahahahah, saya jadi malu.
Imam
yang tadinya bilang akan beristirahat lama di pos 2, buktinya juga ngga sampai
15 menit kita istirahat di sini. Segera aku makan gula jawa, yang katanya bisa
jadi energi. Kami kembali bersiap membawa bawaan menuju pos yang lebih tinggi
lagi. Seperti biasa, aku paling belakang disusul Mas Vebbi. Di tengah jalan, sempat Mas Vebbi bertanya,
“Kalian baru sekali ini naik gunung ya?” Hhahahahhaha aku semacam pengen
tertawa sambil jawab, “iya” dilengkapi dengan muka innocent. Lebih jenaka lagi,
waktu aku bilang ke Mas Vebbi kalo si Nadhia itu adalah Kopral Jono asal Menwa
UGM, sontak keningnya berkerut tanda ragu. Hahahaha
Menghadapi
pertanyaan Mas Vebbi ini, bukannya makin bersemangat, tapi akunya malah jadi
cepet capek. Ya gimana tidak, jalanan menuju pos 3 juga makin cetar membahana
ternyata. Setelah pos 2 aku jadi lebih cepat berhenti, dan itu membuatku dan
Mas Vebbi tertinggal jauh di belakang. Dengan sedikit menyembunyikan rasa malu,
aku sering berhenti dengan alibi melihat pemandangan sekitar. Alasan yang sudah
pasti diketahui kebohongannya. Hhahaha.. Tapi pemandangan bagus emang bener
lho... Kami mulai sering ambil gambar bareng di sini...Lumayan lah buat obat
capek :D
Ini
lebih tepatnya, gambar sebelum Pos 2. Dengan muka seadanya dan sisa tenaga,
mencoba sebisa mungkin untuk tetap narsis di depan kamera. Ya mau gimana lagi?
Kalo ngga narsis, rugi dong udah sampe lawu. Hhaahhaha
Sebenarnya, itu posisi foto yang
cukup bahaya kalo aku bilang. Geser selangkah ke belakang aja, bisa mengguling
jatuh. Tapi udah sampe Lawu, manamungkin ngga berani dengan hal berbahaya kayak
gini hahahha. Bagus banget tu pemandangan, kita foto di atas bukit, dengan background awan. Ternyata kita sudah
sejajar dengan awan. Yeyeyyeyeye Lalaallala :D
Kata
Mas Barri, ini seperti di Film The Lord of The Ring. Di iyakan aja
deh...Hhahahha.. Di sini kita dapet bendera merah putih. Nantinya, bendera ini
dibawa Mas Barri sama Mas Vebbi, tapi akhirnya ditinggal setelah melewati pos
4, cz udah basah jadi makin berat. Kesimpulannya, semakin ke atas,
pemandangannya semakin keren. Aku percaya, Tuhan Yang Maha Pemurah, telah
memberikan rizki berlimpah yang salah satunya berwujud pemandangan seperti ini.
Perlu adanya usaha untuk menikmati pemandangan tersebut, agar jadi saksi atas
nikmat Tuhan. Cuman, orang tanpa usaha, ngga akan bisa memiliki kesempatan
tersebut. So, aku menanamkan pada
diriku, untuk terus berusaha agar menjadi saksi kebesaran Tuhan di Puncak Lawu,
yang aku anggap sebagai atap lawu, Argo Dumilah.
#Melawan
Hipotermia
Mataku
terpana ketika sampai di pos 3. Bukan karena pemandangan yang keren, tapi
bentuk pos 3 yang menyerupai gubuk reot ini, tampak seperti bank sampah. Sekitaran
sini menuju pos 4, bau yang menyeruak pun tak sedap. Kesimpulan awal kami, itu
merupakan bau sampah. Baru kami ketahui saat turun gunung, bahwa sekitar situ
terdapat belerang. Indra penciuman kami meleset.
Pemandangan
yang semakin bagus bila menatap ke bawah (ceritanya kita udah berada jauh di
atas awan banget, tingggiiiii tinggiiiiii sekaliiiii). Sayangnya pemandangan
elok seperti itu dipadukan dengan cuaca yang semakin menyebalkan menurutku, serta
bau-bauan yang tidak bersahabat dengan hidung.
Bersusah
payah untuk mencapai pos 4, maksut hati hendak istirahat, eh pos 4 dihuni tenda
orang. Rintik gerimis mulai turun, turun, turun dan menit berikutnya volume
semakin bertambah. Setelah pos 4 ini, aku benar-benar sudah tidak mengupdate ocehan Kopral Jono, just fokus pada diri sendiri. Kaki
menjadi semakin berat. Beban tas yang tak begitu berat terasa seakan membawa carrier berkilo-kilo. Rasa capek semakin
menjadi, istirahat menjadi lebih sering meski baru naik 10 langkah.
Ridho
mengkomandoi untuk mengenakan mantel. Kami berhenti sebentar menggunakan
mantel. Rasanya sudah ingin mengibarkan bendera putih di depan Imam dan
berkata, “Mam, setidaknya ada kemajuan, kita udah sampe Pos 4, bukan Pos 2
seperti pendakianmu sebelumnya”. Tapi saat mau diucapkan, entah ada saja yang
membungkam mulutku. Rasanya ingin mengkomandoi mereka, bahwa aku titip salam
untuk puncak Lawu. Aku tunggu kalian di bawah. But, itu ngga mungkin. Mana berani aku di bawah sendirian,
hahahahha.
Kali
ini yang berada di belakang adalah aku, Nadhia dan Mas Barri. Kami mengenakan
mantel bersamaan. Tanganku sudah bergetar saat mengenakan mantel baruku. Aku
merasakan ada sesuatu yang tidak normal. Ketika naik, terasa sekaan mau jatuh
saja, tak mampu menopang badan sendiri. Nadhia yang menatapku, langsung
mengatakan bahwa aku sedang pucat pasi, bibirku putih. Huft, aku menggeleng dan
terus maju menahan sekuat aku bisa. Rasa capek yang merayap serta guyuran
hujan, membuat kepala terasa pening. Kaos kaki dan sarung tangan sudah basah.
Komando
selanjutnya menghadapi hujan adalah, berhenti dan mendirikan tenda. Mas Vebbi,
Mas Barri, Imam dan Ridho tengah sibuk memasang tenda. Sepertinya Nadhia turut
membantu mereka. Aku tak begitu ingat waktu itu. Aku seakan hanya berdiri
mematung menatapi mereka yang mendirikan tenda dengan tergesa-gesa. Sampai saat
satu tenda berhasil didirikan, kami belum bisa beristirahat. Malangnya, sempat
terjadi kesalahan yang membuat alas tenda basah kena hujan. Mampus!! Untung
saja Mas Vebbi mau mengorbankan jaketnya untuk dijadikan kain lap. Subhanallah
sekali, betapa ikhlasnya dirimu Mas :D.
Begitu
tenda siap, kami masuk dan mulai memasak air. Menu pertama pendakian ini, kopi.
Cheft selama pendakian ini si Imam. Setelah matang, hanya aku yang tidak minum
kopi. Aku bilang, aku emang ada pantangan minum kopi. So, aku minum air putih saja waktu itu.
Agenda
selanjutnya setelah minum kopi, adalah agenda yang sangat menyelamatkanku,
istirahat alias tidur! Tenda yang alhamdulillah cukup luas ini digunakan untuk
aku dan Nadhia ngebo. Cowok-cowok
pada keluar, bersatu dengan alam. Kebetulan hujan sudah berhenti. Sebenarnya
rugi kalo aku cuman tidur saja saat itu, pemandangan setelah hujan sungguh
mempesona. Udara yang lembab di gunung, ditambah kelembapan setelah hujan,
dpaat menjadi sahabat yang akrab dnegan hidung.
Meski
aku hanya tidur, setidaknya kawan-kawanku mengabadikan pemandangan ini. Bukti
bahwa negeri di atas awan itu, bukan hanya dataran rendah Dieng.
Bisa
menyaksikan pemandangan seperti ini, adalah bayaran dari tangan yang bergetar,
dan wajah yang pucat pasi.
Tapi,
kalo saja Doraemon itu kartun yang nyata, untuk mencapai ini aku tak perlu
harus pucat pasi seperti tadi. Cukup dengan pintu kemana saja, atau
baling-baling bambu, saya sudah merasa seperti di Surga Firdaus.
#The
magic of Bangkit
Seperti
yang kubilang sebelumnya, kita akan tahu watak asli seseorang, bila kita berada
di gunung. Syukurlah cowok-cowok yang naik bersama kami ini manusia yang cukup bertanggungjawab
dan bertenggang rasa. Ketika ditanya kapan kita mau melanjutkan perjalanan,
mereka malah balik bertanya yang intinya, tergantung kami sudah kuat apa belom.
Mungkin orang bilang harus ada kesetaraan GENDER!!! Kalo aku bilang sih, bukan
kesetaraan, melainkan EMANSIPASI TERHADAP APA ITU GENDER!!! Emansipasi seperti
itulah, yang kudapatkan selama di gunung.
Alhamdulillah...
Puji Tuhan :D. Karena sudah cukup istirahat, tak mau menjadikan waktu molor
lebih lama, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Mungkin saat mendirikan
tenda aku sama sekali tak dapat membantu. Tapi karena kebetulan kondisi sudah
membaik, aku membantu sedikit sebisanya untuk membongkar tenda. Semacam
memiliki spirit baru, aku merasa yakin bisa sampai puncak. Aku harus berusaha
lebih keras, bertahan lebih lama, agar menjadi salah satu Hamba ALLHA yang
menjadi saksi kebesarannya. Aku harus bangkit kembali!
Untuk
memompa semangat melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan berfoto dengan alam.
Hasilnya, uhhhh keren coy. Ngga bakal ada selain di Lawu. Ngga bakal kesampaian
kalo kami udah berhenti di pos 2.
Selain
berposisi di atas awan, kita juga berada di atas pengunungan saudara.
Subhanallah :D.
Dan
gadis yang tadi sempat pucat pasi tak berdaya, kini sudah berkacak pinggang
menatap atap lawu :D. “Aku bangkit, dan akan bertemu kamu! Atap Lawu!”
Akhirnya
kami melanjutkan pendakian. Rasa capek tetap lebih cepat merayap sehingga
segera istirahat menjadi agenda penting. Bangkit setelah sempat pucat tadi,
membawa semangat baru untuk mencapai puncak. Rasa capek dan letih tetap
menemaniku menuju pos 5, cuman rasa sakit sudah kabur dari badanku :D.
Menuju
pos 5 ini, aku mau bersyukur, karena tubuhku sudah mengizinkan diriku untuk
bangkit. Kawan, kau tahu kenapa? Ternyata, inilah jawaban dari jerih payah yang
kubawa dari cemoro sewu, sampai menuju pos 5 ini. Inilah jawaban dari wajah
gadis yang pucat pasi tadi. Rute menuju pos 5 terasa berbeda benar. Tanjakan
seakan lebih mudah ditapakki. Jarak jangkauan menuju pos selanjutnya terasa
lebih dekat dan cepat. Tak disangka ternyata kami sudah melalui pos 5. Sadar
kalau tulisan ‘Pos 5’ ada di belakangku, sontak aku berteriak “Pos
Limaaaaaaaaaaaaa”.
Tak
berapa lama setelah itu, langkah kami sudah mencapai Pos 6. Jangkauan jarak
yang pendek dengan medan yang sudah rata. Aku berteriak juga saat itu,
“Alhamdulillah, Puji Tuhan Jalannya Rata!!!” Mas Barri yang berada di belakangku
langsung menyahut, “berterimakasihlah pada orang yang membuat jalan ini rata!” Aku
kembali berteriak, “orang itu adalah pahlawan bagi para pendaki!!! Hihihihi”
Apa
kau bertaya, kejutan Tuhan apa saja yang diberikan kepada kami di radius yang
semakin dekat dengan atap Lawu? Banyak kawan! Banyak fenomena alam yang
sebelumnya belum pernah aku lihat.
Fenomena alamnya, bukan cewek dengan kerudung
warna kuning di gunung. Hhahahaha. Fenomenanya adalah, tu bisa lihat sendiri!
Sinar matahari tenggelam, ditutupi oleh gunung, yang akhirnya menghasilkan
bayangan gunung itu sendiri. Tu, indah banget kan?
Satu kata,
Subhanallah :D. Gambar di atas bukan gunung, tapi bayangan dari gunung di
belakang kami.
Ada lagi fenomena sosial tentang romobongan
pendakian. Iya, mereka meskipun tidak saling mengenal, tapi kami merasa sama
satu komunitas di gunung ini. Begitu sampai di tenda-tenda para pendakian, kami
langsung disambut rombongan dari Jakarta yang sudah memasang tenda, “Mas, mau
kopi?” Sumpah, mbaknya baik banget, ramah lagi!!! Orang Jakarta kayak gitu!!
Kami
meminum 2 gelas kopi yang disodori anak Jakarta tadi. Kami tak tahu mereka
siapa saja namanya. Tapi kami merasa, sudah kenal dan akrab! Itu saja, tak lebih.
Dan tentu saja kopi itu hanya diminum 5 orang. Imam seakan menyimpan rasa curiga, ia bertanya
“Kamu tu sebenarnya sakit apa e?”Hahahha, bukan penyakit, hanya sebatas pantangan
saja kok!
Tanpa
komando, kami langsung mengabadikan momen. Ambil kamera, pasang muka,
narsislah! Bukan hanya berenam saja, kami narsis bareng anak-anak Jakarta tadi.
Senengnyaaaa, meski nanti kalo kami saling bertemu di Ibukota, bakal lupa
hahahaha :D
Gambar
alam di bawah Lawu bila difoto dari posko 6.
Kami
bersama rombongan dari Jakarta.
Langit
yang tersisa, berwarna merah.
Taraaaaa....
rombongan kami yang utuh!!!! :D
Setelah
asik berfoto, bukannya segera mendirikan tenda, cowok-cowok malah pada lanjut
jalan. Aku jadi bertanya, sebenarnya kita mau mendirikan tenda, apa endak?
Mereka kok malah menjauhi tenda-tenda para pendaki lainnya. Bahkan saat menemui
sumber air sekalipun, (jawaban atas ocehan Nadhia), mereka masih tetap lanjut
berjalan. Nah, di sini ni, kami menemukan rombongan dari Jakarta, satu tim
dengan rombongan tadi, cuman beda tempat camping.
Mereka pinter milih tempat, mendirikan tenda di dalam gua. Tapi sayangnya tak
pandai memasang kompor, buktinya mereka minta tolong kami waakkakakak. Di sini,
selain menyempatkan untuk mengambil air, kami juga jajan gorengan. Kebetulan di
sini juga ada warung, selain warung Mbok Yem.
Untung
aja aku tak mendemo mereka. Mereka lebih jago memilih tempat. Ahirnya kami
mendirikan 2 tenda di depan Wrung Mbok Yem, warung yang terkenal sebagai warung
setan atau apa lah! Bersyukur, mendirikan tenda di depan penginapan Mbok Yem
sama sekali tidak dikenai tarif. Hanya saja, tidak dapat memanfaatkan fasilitas
kamar mandi milik Simbok -,-.
Pemandangan sekitaran camping kami, kalo
malem, uhhhhh ngga nyesel dah! “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian!”Bersakit-sakit melawan fisik, bersenang-senang dengan medan yang semakin
ke puncak menjadi lebih mudah, dan menikmati alam yang elok rupawan. Waktu itu sekitaran pukul 19.30 WIB. Tau bukit
bintang? Ini adalah bukitnya, bukit buat bukit bintang, bukitnya lagi!!! Maha
Mega Super Bukit Bintang! Terserah siapa saja hendak mendeskripsikan tentang
tempat camping ini, tapi inilah deskripsiku untuk suatu tempat yang berhasil
kami singgahi.
Kalau
kami keluar tenda, kerlip lampu kota di bawah yang seakan menerangi malam
bahkan sampai puncak sini, langsung tersaji. Sorot lampu kotanya, membuat
suasana menjadi kian hidup. Tampak begitu terang dari atas sini, kota yang kami
kelilingi dari beberapa radius menuju atap Lawu. Sayangnya, kami tak sempat
mengabadikan momen seperti ini. Usai minum susu, kopi, dan makan, kami langsung
tertidur pulas. Aku mengucap sukur sekali lagi. Sobat-sobatku ini pengertian.
Mereka kaum adam yang sabar menghadapi 2
kaum hawa. Mereka membuatkan energen, karena tau aku tak bisa minum kopi.
Mereka ikhlas membuatkan mie, yang seharusnya adalah pekerjaan perempuan (aku
dan Kopral Jono merasa amat lelah waktu itu, dan yakin, mereka berempat pun
pasti jauh lebih lelah). Sumpah sabar bener ya mereka, udah ndiriin tenda,
masak, wahhhh, lain kali AKU TAK MAU KALAH SAMA MEREKA!!! HahahahahaBebar-benar
Emansipasi terhadap Gender.
#Argo
Dumillah
Pagi
buta, kami meninggalkan tenda, menuju atap Lawu, Argo Dumillah. Kami sempat
bingung, di mana puncak Lawu berada. Untung saja, ada plang bertulis ‘Puncak
Lawu’, yang ternyata merupakan buatan dari KKN PPM UGM.
Rute
untuk mencapai Argo Duillah, ternyata lebih sesuatu. Medannya bukan batu
bebatuan, melainkan tanah. Tankjakannya, kalo aku bilang, lebih berat. Ya
gimana enggak, udah mau puncak Jeng! Hahahhaha
Kami
sampai puncak Argo Dumillah pukul 4 pagi. Krikkk...Krik...Krikkkk Jangkrik.
Kamilah manusia pertama disitu! Menunggu sunrise
pukul 5, sesuatu sekali karena kami melawan udara puncak yang suhunya masih
berada di bawah sekali dengan kamar kulkas kami. Pemandangan bukit bintang,
sorot lampu kota yang seakan mengelilingi kami, hanya tampak sebentar. Tak lama
setelah kami sampai puncak, kabut tebal mulai turun. Sepertinya, ini
tanda-tanda kami tak akan mendapatkan sunrise!
Kami
berencana mengabadikan foto di puncak. Sayangnya, sesuatu yang mistis terjadi.
Foto yang diambil, selalu gagal menangkap wajah kami! Yang tertangkap hanyalah,
tulisan Argo Dumillah. Menyadari sesuatu yang janggal tersebut, kami memutuskan
akan mengambil fotonya, nanti setelah azan subuh. Heheheh
Medekati
pukul 5, semakin banyak romobongan yang mencapai puncak. Kabut kadang turun
kadang pergi. Beberapa romobongan tengah menjalankan ibadah subuh di sini.
Sekitaran pukul 05.30 kami bisa menyaksikan matahari terbit, dari puncak
ketinggian 3200 sekian DPL, di Argo Dumillah, Puncak Gunung Pasif Lawu.
Hanya
tampak dengan warna hitam bayangan kami, dan semburat merah dari sang Fajar
yang karena masih pagi, amat pelit.
Selanjutnya,
sangat disayangkan dokumentasi ada di kamera orang lain, anak kehutanan yang
sedang meneliti keberadaan Bunga Edelweis, program PKM nya yang berhasil
didanai Dikti. Ya mau gimana lagi? Cadangan batere ditinggal Mas Barri di
tenda... Sesuatu sekali bukan! Bahan makan dan minum juga ditinggal! Apa
gunanya kompor kalo tak ada bahan makanan! Benar-benar sesuatu yang lucu
Wakakakakka :p
Tanpa
kamera bagiku tak masalah. Yang terpenting aku masih bisa menyampaikan salam dari
keluarga, dan sahabat terdekat untuk Lawu. Tak kelewatan, salamku Untuk Mas
Unyu. Aku memutarkan pandangku pada dunia dari atap Lawu. Berharap menangkap
sosok energik yang tak pernah galau dan selalu menebarkan hawa komedi. “Mas
Unyu, mungkin kita sedang terpisah selat? Mungkin kamu sedang berkutat dengan
tugas kampus yang aku yakin kamu pasti sangat woles? Di mana kamu berada saat
aku mencari bayangmu dari atap lawu? Tapi tetap saja, tingkahmu yang
jingkrak-jingkrak itu, akan selalu tampak dari mana pun aku melihatnya!”
Hhahahhaha (edisi gombal)
Akhirnya,
dengan hanya mengandalkan kamera hp milik Kopral Jono, kita menuruni sedikit
puncak Lawu, dan menemukan pemandangan yang tak kalah keren. Seperti menghap
beragam tebing dan kita berada di atas salah satu tebing tersebut. Menantang
alam, itulah perumpamaannya. Alam kami datang, menghadapmu, terbentang di sana
lembah, perbukitan, dan kami berada di atas kalian, menatap kalian dari tempat
kami berdiri. Bunga-bunga edelweis yang kini hampir langka, terbentang luas di
bawah kami. Kami dapat membuktikan keberadaannya yang banyak dari sini. Alam
ini, mahakarya Tuhan, rizki tuhan yang dengan usaha keras serta perjuangan
dapat kami saksikan!!!
Alam
representasi dari kecintaan manusia-manusia Indonesia. Alam yang bisa juga
mewujudkan cinta kepada keluarga, sahabat, bahkan kekasih. Kalau ada yang
sedang jatuh cinta, bisa menuliskan nama orang tersebut dengan menata bebatuan
di bawah kami, dan pastinya nama itu akan disaksikan oleh pendaki lainnya.
Bukti cinta yang diukir di Lawu. Seandainya aku masih punya tenaga banyak,
pasti aku lari menuruni bukit, dan menuliskan anam Mas Unyu di sana...wakakkakakakka
. Kemudian suatu hari nanti, akan ku ajak kau ke sini, dan saksikan apa yang
pernah aku buatkan untukmu.. wakakkaka
Ada
yang unik lagi dengan alam dari sini, selain lautan awan di bawah kami, dan
juga bayangan gunung. Ada suatu pembiasan cahaya, apa itu namanya kami tak tau.
Seperti pelangi, cuman dia membulat.
Aduuuh, sayang sekali kami tak berhasil mengabadikan gambarnya. Kami tak pernah
melihat fenomena semacam itu sebelumnya. Pembiasan cahaya yang menyerupai
pelangi, berbentuk bulat bola pingpong, terletak di antara bayangan gunung-gunung,
yang untuk bisa menyaksikan bukti kehadirannya harus dengan titik kefokusan
mata hiper tinggi.
#Turun
Gunung
Oke
kisah tentang Lawu mungkin akan berakhir di sini. Kami turun gunung, dan akan
segera menemui rutinitas kampus, tugas dan amanah yang sementara kami abaikan. Perjalanan
turun gunung ini memakan waktu amat singkat. Rasa letih tak mudah merayap ke
tubuhku. Kami hanya sekali dua kali istirahat, itu pun tak terlalu banyak memakan
waktu.
Saat
turun, kami merasa ada semacam kesenjangan sosial. Kami akan tercengang saat
melewati tenda-tenda para pendaki. Mereka bahkan naik gunung, memasak sayur
mayur, naget, daging...blehh..bleh..bleh. Mas Barri pun meminta waktu untuk
istirahat, dan mencoba sedikit woles dengan memakan cemilan yang kami bawa. Meski,
itu saja kami masih merasakan adanya kesenjanagn sosial, bila dibandingkan
dengan makan mie penuh, dengan bumbu yang dicampur asal, minum air mentah, ya
seperti bisa dibayangkan apa makanan gembel gunung. :p
Saat
berpapasan dengan pendaki yang mau naik, kami tak lupa menyapa dan memberinya
dorongan semangat. Dari cerita salah seorang pendaki asal Jakarta, kami
tercengang bersama. Dalam mencapai pos 2, mereka membutuhkan waktu 6 jam, Lha
kita!!! 3 jam Men!!! 3 jam!!! BAYANGPUN!!! Betapa aku menyadari bahwa ternyata
kami sangat pekerja keras waktu itu! Pantes aja wajahku jadi pucat pasi. Ini
juga bagiku semacam kesenjangan sosial.
Sesampainya
kami di pos 2, kami menemui adanya tenda berdiri di sana. Ternyata tenda itu
diisi dua orang, rombongan dari UGM juga. Mereka berdua terpaksa pisah dari
rombongan dan menunggu di pos 2, lantaran salah satu dari mereka, mengalami....
HIPOTERMIA. Ketika kami mengobrol, Mas dari Fakultas Teknik itu menceritakan
gimana gejala temannya saat Hipotermia. Aku tercengang seketika. Kedinginan,
pucat, tangan bergetar, membuka memoriku kembali. Mas Barri yang saat itu duduk
di sampingku, langsung melirik dan bertanya, “Kamu, kemarin, kayak gitu juga
ngga?”.. Dengan memasang muka innocent, aku bilang, “Hehehehe, iya e... berarti
kemarin kalo kita ngga istirahat, bisa bener-bener hipotermia wakakakka!”...
Tak
beberapa lama kami melihat romonongan SMA yang juga menuruni gunung. Gadis
belia itu, membawa carrier. Mas Barri
berkomentar, yang lebih tepatnya menyindir. “Tu It, anak SMA aja kuat bawa carrier,” Kembali, aku memasang muka
innocent.
Rute
turun gunung cepat kami lalui. Tak beberapa lama, sampailah kami di Cemoro Sewu.
“Suara garingpong“ memenuhi seiisi pohon. Ini hutan bising sekali. Suara itulah
yang menemani kami sampai pada gerbang bertulis Cemoro Sewu... “Saudara, kita
sudah berada di depan pintu kesejahteraan! Pintu yang membawa kita kembali pada
rutinitas kampus!”
#Antara
Lawu dan Negara Tetangga
Pulang
dari Lawu, aku punya kebanggaan tersendiri. Beberapa pembelajaran tentang sifat
manusia pula aku dapatkan di sini. Hikmah naik gunung sudah kudapatkan.
Sampe
Jogja, agenda pertamaku adalah membuka web. Seperti beberapa hari belakangan,
aku membuka web ciputra. Inilah minggu penantian itu. Diam-diam, selama di
gunung bayang-bayang akan hasil lomba ciputra membuatku galau. Tak ingin
terlalu menyiksa diri dengan rasa penasaran tinggi, langsung aku buka web, dan
... secara LUGAS aku bilang, diriku telah kalah kembali untuk ke sekian kalinya
dalam lomba menulis. Kali ini, tidak membutuhkan waktu begitu lama seperti saat
pengumuman lomba “Menjadi Indonesia”, untuk menikmati kekalahan. Aku menyambut
dengan senyum halaman pengumuman tersebut. Setidaknya, gaya dan ritme
kepenulisanku sudah tertata sedikit lebih rapi.
Kawan,
kau tahu kenapa aku bisa tersenyum? Itu juga meruakan salah satu pembelajaran
yang aku dapat di gunung kawan! Kau sudah tau bagaimana aku melawan fisikku
sendiri untuk mencapai Lawu, yang bahkan aku bisa saja hipotermia. Tapi aku
terlalu memaksa diriku untuk bersemangat sampai atas. Begitu sampai puncak,
ijin dari tuhan untuk menyaksikan rizki alamnya yang agunglah yang kudapat! Bukti
kebesaran tuhan, yang makin indah lagi bila mengingat bagaimana perjuanganku
mencapainya. Ibaratkan saja, kekalahan-kekalahan ku kemarin dan dulu, seperti
jerih payah ku untuk mencapai atap lawu. Ketika kau berusaaha sekeras tenaga
melawan dirimu sendiri di bawah, kau akan merasakan keagungan saat berada di
atas mencapai sesuatu! Saat kau bersakit-sakit di awalnya, nanti begitu
mendekati puncak, usahamu akan lebih mudah lagi! Kalo boleh mengumpamakan,
posisi diriku dalam perlombaan menulis kali ini, sepertinya saat aku mencapai
pos 5. Dan karena pembelajaran itulah, aku dapat tersenyum menikmati kekalahan
untuk kesekian kalinya. Aku percaya, nantinya saat aku berhasil memenangkan
suatu lomba, hati akan lebih bisa memaknainya, di balik usaha dan kerja kerasku.
Dua
tiga hari setelah itu, aku membuka situs jejaring sosial untuk mengupload foto.
Rasa bangga masih menyelimuti kalbu. Sudah beberapa hari sampai Jogja, rasanya
baru kemarin saja turun dari gunung.
Tapi
tidak saat aku membuka beranda facebook. Kau tau kawan, ini semaacam kesenjangan
sosial! Kesenjangan sosial yang begitu cepat dapat merontokkan rasa banggaku,
menampar dan memaksaku untuk mengibarkan bendera berwarna putih!!!
Dia,
si anak fakultas sebelah. Ternyata, saat aku naik gunung, dia tengah terbang ke
negara tetangga yang notabenenya merupakan negara maju, untuk mengikuti suatu
kegiatan yang entah itu namanya apa aku pun tak begitu mau tahu. Dia mengikuti acara
tersebut untuk mengejar mimpinya. Dia tampak amat bangga! Berfoto bersama
teman-teman barunya dari luar negeri. Sedangkan kalau aku berkaca pada diriku
sendiri... Oh... Aku kini begitu bangganya bisa sampai Argo Dumillah! Kawan,
tapi itu bukanlah untuk mimpi! Itu hanya sekedar memenuhi hasrat anak muda. Oh My God, ternyata saat aku mencoba
bertahan melawan hipotermia, ia tengah bercengkrama dalam suatu diskusi, suatu
perkumpulan orang-orang pilihan, dan... berfoto dengan para perempuan! Oh...
ini semacam kesenjangan sosial!
Ternyata
aku masih membutuhkan waktu beberapa hari untuk menikmati kekalahanku dari
lomba ciputra. Ditambah lagi, aku ingat betul kami pernah berkompetisi IP.
Kompetisi itu, dia menang mutlak ber IP 4, saya dada.... Kami sama-sama suka
nulis! Tapi dia lebih dulu dan sering menang lomba, saya ZERO! Dan sekarang,
rasa bangga yang begitu berbeda. Ia bangga untuk mimpinya, saya bangga dapat memenuhi
hasrat anak muda! Ya, seperti kesenjangan sosial bukan?
Sebenarnya
kalau boleh curhat colongan, aku mau bertanya pada semua orang. Mengapa seakan
semua orang menyalahkanku karena pernah cuek dan akhirnya menghindar? Tahukah
bahwa mengungkapkan rasa saja tak cukup? Tahukah bahwa, perempuan, pasti tak
mau hanya digombali saja? Karena hanya mengungkapkan rasa, adalah indikasi PHP,
dan itu sangat membuat hidup jadi risih. (masih mending dirisihkan dengan amanah
organisasi dan tugas kampus bukan?) Ketika semua terpaksa kandas di tengah
jalan seperti ini, masih saja aku yang dipersalahkan? Sesungguhnya, saya pun
tidak pernah membenci, pada orang yang mencintai saya, dan pernah mencintai
saya!!!
Oke,
ya sudahlah... Tidak enak membahas ini setelah turun gunung! Bisa jadi, aku
belum siap membahas masalah hati... Membahas sedikit tentang ini saja, sudah
membuat tanganku secara reflek merusak stiker leptop, jadilah stiker ane
berantakan kek begini! Intinya, tidak ada yang membuatku kecewa! Walau
bagaimanapun juga, aku tetap merasa bangga bisa sampai Argo Dumillah.
Suara-suara di atas, hanya bisikan jin jahat aku rasa hahahahah. So, mari kembali pada ungkapanku
sebelumnya, saat jiwaku tidak dikuasai jin jahat...hehehhee
Tuhan,
terimakasih telah memberi kami kesempatan untuk menyaksikan kebesaranMu. Atas
perjuanganku, perlawanan terhadap diri sendiri, nikmatMu dalam pencapaian
sangatlah AGUNG! Akhir kata, aku menutup note
ini dengan semboyan, “Seperti mendaki Lawu, begitu pula perjalananku di dunia
kepenulisan :D”.
Yok
istirahat, besok jadilah saksi kebesaran Tuhan yang lain!!! Di luar sana, masih
ada milyaran kebesaran Tuhan!!!
“Itok Bastem”
26 Maret 2013, di kamar
kos menara 3 yang sepi. Hanya denting jam menemani.
waaa itaa naik gunung , keren :)
BalasHapushihihiiiii iya mba, ayo mbak kapan-kapan naik bareng :D
BalasHapusamazing,,,,, perjuangan yang bgtu amat sangat bgus dan crta yg bgus,,,,, terimakasih udah brkunjung ke gunung kami gunung kita gunung semesta alam,,,,
BalasHapusregdrads
krishna affandy (emotional uncruza)
Magetan
terima kasih juga sudah berkenan berkunjung di rumah mungil saya. For more information about my activity, please contact me @ itasahri, Ita Tifuzh, or ita.ipus@yahoo.com. Thanks
HapusAhh aku belum pernah ke Lawu... padahal sebagai orang aseli lereng selatan (jauh) Lawu mestinya cukup akrab dengan gunung ini. Anyway, Nice story mba... kalo muncak lagi, ajak-ajak mba hehe. Salam.
BalasHapus