Yogyakarta, 27 November 2013
Aku menuliskan
sebuah surat. Bait kalimat yang kupersembahkan untuk seseorang bernama Itok.
Curahan hati yang akan menyampaikan maaf dan terima kasihku, pada seseorang
yang raganya kupinjam. Pada raga yang sudah 22 tahun aku pimpin. Untuknya, di
harinya, aku menulis untuknya, hanya untuknya, karena dia begitu spesial
untukku.
Teruntukmu,
Itok, si Tokii Dokii… Maafkan daku yang selama ini belum cukup mampu memimpin
tingkah dan tuturmu. Maafkan daku atas waktu yang terbuang tanpa restu. Maafkan
daku atas kesibukan yang terkadang membuatmu lupa bahwa Engkau juga makhluk
sosial yang memiliki keluarga haromnis dan sahabat-sahabat yang menyayangimu.
Mungkinkah aku kurang menyayangimu, bila dibandingkan dengan mereka semua? Aku
tak tahu, aku hanya ingin meminta maaf padamu, Itok. Maafkan daku juga yang
masih belum cukup mampu membawa sepasang kakimu melangkah jauh ke depan,
menggapai semua mimpi , cita, dan harapanmu. Entah mengapa, selama ini aku
hanya mampu membuatmu bertahan dengan tekad dan semangat. Namun setidaknya,
semangat itulah yang membuat kita bertahan dan selalu percaya bila pada
akhirnya tangan dan imajinasi ini akan menemukan tempat, di waktunya.
Di harimu
kini, banyak sudah waktu yang kita lalui bersama. Di harimu kini, banyak sudah
waktu berkurang, hingga kita kita tersadar, yang ada adalah sisa waktu. Sisa
waktu, tahukah Engkau berapa sisa waktumu, Itok? Jangan datang padaku dengan
membawa pertanyaan semacam itu, Itok. Aku tak mampu menjawabnya. Datanglah
padaku untuk mengambil lagi tinta kehidupan. Mari sama-sama menggoreskan
sejarah pada peradaban melalui tinta yang berwujud selapis tekad dan semangat.
Yang seperti itulah aku mampu. Mari kembali melanjutkan napas dan memanfaatkan
sisa waktu yang tersedia. Lalu, ke manakah langkah kaki ini akan melangkah?
Ahhh, aku
tidak akan memimpinmu dengan cara demikian. Bukankah kita tidak bisa selalu
berkaca pada kegagalan? Sudah cukup banyak kegagalan itu memberikan kita
pembelajaran, memperbaiki kaki dan tanganmu, dan menuntunmu untuk terus
melangkah. Dan ketika cahaya itu datang, semua itu mulai menampakkan wujudnya,
satu per satu.
Itok, Engkau
boleh mengucapkan terima kasih padaku. Aku akan menerima dengan senang hati
ucapan terima kasihmu. Aku senang dapat membuatmu terus bertahan hingga
sekarang, hanya dengan bermodalkan SEMANGAT. Apa itu BAKAT, tidaklah penting
buat kita bukan? Kita sama-sama tahu, SEMANGAT telah membuatmu mulai menemukan
titik-titik pencapaian itu.
Bahagia
melihatmu mengantongi beasiswa Prestasi untuk ke sekian kalinya. Sangat senang
rasanya melihatmu tergabung dalam Tim Penilaian PROPER Perusahaan se-Indonesia.
Bangga melihatmu mampu mengemban amanah dengan sebaik-baiknya di beberapa
posisi strategis. Selamat atas proyek-proyek yang selama ini Kau idamkan.
Hhahahah, apalagi akalu bukan proyek menulis? Ahaaa, slemaat juga atas
diterimanya Engkau sebagai staff magang media di ECC. Cheeers untuk kerjasama
kita selama ini, Itok. Oya lagi! Dan senyummu terus mengembang karena belum
lama ini cerpenmu dinyatakan lolos dalam Audisi Cinta Terpendam dan akan segera
dibukukan. Selamat untuk poin yang tidak selisih banyak dengan sang juara
pertama (2 poin). Selamat ya, Itok…..
Dan untuk semua itu, harus ada
perenungan tersendiri. Iya Itok, Engkau kembali dengan kebiasaanmu
dahulu-dahulu. Ini adalah harimu, saatnya Engkau melakukan ritual tahunanmu.
Hari ini, hanya aku dan Engkau yang memilikinya, tidak dengan yang lain. Hanya
kita berdua. Lalu, kemana langkah kita melangkah selama seharian ini?
25 November 2013
08.50
Aku turun dari mobil. Kulanjutkan
langkah menuju terminal Giwangan. Di sanalah, awal dari semua perjalanan ini.
Semua ditentukan dari sini, sebuah terminal di Yogyakarta.
08.59
Kondisi sudah mendapatkan bis tujuan
Solo dan langsung berangkat. Aku duduk berdampingan dengan ibu-ibu yang membawa
dua anaknya. Kalau dilihat-lihat, mereka berasal dari keluarga yang tidak
berkecukupan. Oya, mereka juga bersama seorang kakek yang selalu menenteng tas kumal
yang amat lusuh. Alhamdulillah Ya Allah… dengan menengok ke bawah, rasa sukur
ini terus ter-update. Rasa sukur dan
iba ini pula yang menyelamatkan adik kecil dari rasa jengkelku.
Oke, jadi ceritanya ni yaaak, tu adek
tiba-tiba berdiri, mengangkat pantatnya, dan kentut di depan saya, di depan
muka saya. Lima detik berikutnya, wewangian yang aromanya tidak jauh berbeda
dari comberan pun menyeruak di sana, di hidung saya SAJA. Oke, fine! Aku harus sabar, dia masih
kanak-kanak. Mungkin dia sedang diare, atau sakit perut gara-gara sebelum naik
bis makan sate. Entalah, apa saja makanan yang dimakannya. Hanya saja aku masih
bisa bersabar. tenang aja, hal sekecil ini tidak akan membuatku kembali ke
rumah dan memutuskan tidur saja seharian. Kupastikan, kaki ini akan terus
melangkah, menemui seorang perempuan berhati mulia.
11.10
Bis yang kutumpangi sampai terminal
Solo. Kulanjutkan langkah, mencari bis yang dapat membawaku menuju Purwodadi.
Ketika masuk peron, sebal pun tak bisa dihindari lagi. Tahukah, 500 saja itu
udah korupsi. Lima ratus saja itu sudah dosa. Karcis yang tertera 500 harus
dibayar seribu. Sebenarnya bangsa ini tidak miskin! Hanya saja, warganya saja
yang miskin sampai 500 saja harus nyolong. Tapi gara-gara ini pula aku jadi
punya ide menulis cerpen sih, hehehe…….
11.13
Kulihat di ujung sana bis tujuan
Purwodadi sudah menuju pintu keluar terminal. Untung kakiku cukup panjang.
Untung aku masih ingat bahwa saat SD kemampuan lariku di atas rata-rata. Dalam
sekejap aku sudah duduk manis di dalam bis, di samping mbak-mbak yang kudengan
suaranya saat telepon, ternyata medok banget pakek sanget.
Dan perjalanan baru benar-benar dimulai
di sini. Sumpah men, gue kagak naik bis ini namanya, tapi naik kuda. Dan lo
harus tau, ni kuda yang gue kendarai nggak cuma bisa lari aja, tapi terbang pun
bisa. Udah kaya Pegasus aja ni bis.
Entah ya, antara bis yang seharusnya
sudah dimusiumkan sejak 200 tahun yang lalu, ataukah jalan yang butuh disetrika
dengan temperature suhu maha tinggi. Tapi setidaknya gue beruntung. Medan jalan
seperti ini tidak membuat gue mabok, yang akhirnya menumpahkan seisi perut ke
muka supir gila itu. Pak Supir, bersukurlah, Anda selamat!
13.18
Akhirnya selamat dari supir gila.
Bergegas kujauhi mobil kampret yang bisa saja menghabisi nyawaku itu. Di sini,
di terminal Purwodadi, kunanti bis tujuan Blora yang tak kunjung datang.
Beruntung aku tak sendiri. Ada sepasang bapak-ibu yang ramahnya luar biasa bin
binasa. Menatap wajah penuh kepedulian mereka, mengingatkanku pada mamah dan bapak
di rumah.
13.48
Bagi lo-lo pada yang ngerasa di-PHP
sama calon pacar, nggak usah pakek acara sedih sambil berucap “sendu mendayu
sedih hidup ini”. Sumpah, lebih nggak enak dan menyedihkan di-PHP sama supir
dan kernet!!! Udah bawa bis dengan kecepatan minus, ehhhh, mereka malah turun,
glengsoran di tanah. Sumpah, tu orang minta ditabok deh. Bayang pun, udah
berapa puluh orang di bis ini yang mereka PHP-in? Wahhhh, kampret bener dah ni
supir kernet.
Ada juga yang kehabisan kesabaran.
Ibu-ibuk di sampingku, perempuan paruh baya dengan kerudung warna merah yang
kalo aku bilang cara makek kerudungnya enggak banget, bikin trend sendiri,
turun sambil ngomel-ngomel. Sumpah, kalo ada mamah, beliau pasti bilang, “Iki
uwong, kenese mreteli!”
Ibu berkerudung merah yang awalnya kami
kira akan menyelamatkan penumpang dari PHP sopir dan kernet, ternyata tidak
bertindak banyak. Dia hanya turun, ngomel sendiri, di samping bis yang jauh
banget dari supir kernet itu, lalu naik bis lagi. Njok ngopo buk?????
16.19
Setelah menjalani ritual panjang
selama perjalanan, akhirnya sampai juga di depan Tugu Pancasila. Hal pertama
yang kulakukan begitu menginjakkan kaki di Blora adalah, menelpon Mbak Sum.
Beberapa menit kemudian, Mbak Sum meluncur membawa sepedenya yang berwarna
kuning.
Tidak banyak yang berubah dari Mbak
Sum. Dia tetap wanita berhati mulia, yang kubilang kecantikannya nomor dua
setelah mamah. Oh ya, ada sedikit yang berubah. Mbak Sum lebih item sekarang.
Hihihi…. Tapi tetep cantik kok J
Selama di Blora, aku bermain dengan
jagoan-jagoan Mbak Sum. Mereka adalah Bima dan Diza. Orang yang tak tahu, pasti
mengira keduanya produk Londo. Sumpah men, cakep banget, taruhan deh! Kalo
mereka udah gede nanti, pasti ganteng terus banyak cewek-cewek yang ngejar
mereka, setia mengantri di belakang. Hihihhoiiiii…..
Malamnya, kami menuju Alun-Alun yang
ternyata tidak begitu jauh dari rumah. Emmmmm, gimana ya ngomongnya, cuman,
menurut gue ni ya, ini bukan alun-alun, tapi taman kanak-kanak. Sepanjang mata
memandang, yang ada hanyalah odong-odong, kereta mini, dan segala jenis barang
yang berbau kencur.
Hari pun harus segera kuakhiri
mengingat rasa lelah di perjalanan sudah tidak tertahankan lagi. Semalaman
tidurku bisa dibilang nyenyak nggak nyenyak. Suara kendaraan yang berseliersan
terus menggelitik pendengaranku.
26 November 2013
Sudah saatnya
hape menyala dan kembali ke peradaban. Ketika hape on, wa, line, wechat, dan
sms sambung menyambung membuat hape saya penuh muatan. Hanya beberapa yang bisa
kubalas pagi itu.
Aku memulai
perjalanan pulang dari jalanan depan rumah. Kutunggu bis tujuan Purwodadi
dengan setia.
Begitu dapet
bis, kunikmati perjalanan ini dengan penuh kenyamanan. Ketika bis yang cukup
normal ini sampai di depan pasar, mataku menangkap sosok yang sepertinya tidak
asing bagiku. Kuikuti punggungnya yang perlahan memasuki bis, berjalan ke
depan, hingga pandangan kami pun bertemu. Dan,,,,
“Halo Buk, bertemu lagi ya?”
Bertemulah aku
dengan ibuk-ibuk yang kenesnya mreteli. Kami mengobrol cukup banyak di
perjalanan. Ketika aku udah mulai diam karena penghayatanku yang tinggi dengan
lag di mp3 ini, tiba-tiba tangan si ibuk menjawelku, sinyal jenaka dari
lagu-lagu para pengamen. Hihiii, aku hanya nyengir menanggapinya. Menghindari
percakapan satu arah, kucoba memulai percakapan dengan ibu itu, seorang ibu
kenes yang sampai saat ini tak kuketahui namanya.
Aku bertanya
padanya, apakah dia seorang penjual. Sayangnya musik dari suara pengamen
semakin riuh berpesta dengan kendangnya. Sayang, ibuk itu pun tak paham bahwa
suara maha keras dari pengamen itu tentu menjadi arang melintang bagi suaranya
yang terbang melayang ke telingaku yang tak berdosa ini. Dia menjawab dengan
nada dan intonasi normal, yang tentu saja telingaku tak mampu menangkan
suaranya. Sayangnya, ibuk itu pun tak tahu bahwa sebenarnya aku masih menikmati
mp3ku yang mendengdangkan lagu-lagu nyaring melebihi suara pengamen dan suara
kenes dari ibuk itu. Aku pura-pura saja menyimaknya, karena telingaku jelas
tersumpal headset. Selanjutnya, aku hanya menatap bibir tipis ibu itu.
Lipstiknya merah menyala, nggak meching sempurna banget dengan warna baju
oranye dan kerudung oranye yang gaya memakainya enggak banget.
Oke, itu tadi kisah
perjalananku. Emmmm, mau bilang sory aja sih, ni tulisan emang ngga setia.
Kenapa ngga setia? Tadi awalnya gaya penulisannya sendu mendayu, terus semakin
ke sini malah jadi lucu-lucu unyu kaya mas unyu gitu. Hemmm, bukankah aku sudah
bertekad untuk tidak memimpinn Itok dengan mengingatkan pada kisah duka saja?
Bukankah di sekitarnya, beterbangan imajinasi-imajinasi lucu yang dapat
menggelitik mulutnya untuk terus tertawa dan ceria selalu.
Thanks to
Madam Sahara (Sekar) yang udah mau jadi teman ngobrol sore ini di MK Kafe. Aku
dapat merasakan senyum tulusmu yang ikut merasakan kebahagiaan atas segala
pencapaianku. Engkau mengatakan, “Tok, bener-bener ya, ini tahun pencapaianmu?”
Kau tersenyum dengan senyum khasmu.
Dalam hati aku berpikir.
Iya, mungkin ini memang tahun di mana pencapaianku mulai muncul ke permukaan.
Dan perkataanmu, mengingatkanku pada sesuatu.
Sekarang tahun
2013. Selalu ada yang khas denganku di angka 3. Seperti namaku, juga diawali
dengan Tri. Selama ini memang selalu ada yang khas dengan angka 3. Bukankah,
dalam Islam pun menganjurkan untuk melakukan sesuatu tiga kali? hahahha
Aku harap,
angka 3 ini menjadi permulaan yang indah. Sama seperti namaku yang dimulai
dengan Tri, menjadikan si empunya nama menjelma sebagai makhluk yang indah.
Hoeeeeek
Bantul, 28 November 2013
itooookkk :") entahlah ak ga paham gaya penulisan atau apapun itu. yang terpenting untukku, kau sudah mau berbagi pengalamanmu dengan kami semua. semoga menjadi sesuatu yang bermanfaat
BalasHapus