19 Juni yang...... yang seperti ini
Kita
selayaknya menghormati orang yang lebih tua, sebagaimana kita menghormati orang
tua kita. Rasa cinta pada orang tua adalah alasan, kenapa kita harus
menghormati orang yang lebih tua daripada kita, sekalipun kita tidak kenal.
Iya, kita harus hormat pada mereka, untuk orang tua kita. Untuk orang tua kita.
Dan untuk orang tua kita, kita juga diperkenankan untuk tidak hormat pada
mereka, jika mereka tidak memperkeruh urusan orang tua kita.
Hati
anak mana yang tidak sakit, melihat bapaknya kluntang-kluntung kesana-kemari
dipermainkan birokrasi yang tidak jelas di rumah sakit? Mana permainan
birokrasi itu pun dibungkus dalam wajah yang sama sekali tidak ramah. Dan di
atas wajah mereka yang sama sekali tidak ramah, terpasang wajah bapak saya yang
memelas karena menahan sakit.
Mungkin
untuk saat ini, Tuhan membenarkan langkah saya untuk menggertak mereka. Iya,
kulakukan itu. Pada akhirnya emosiku tidak terkontrol. Kugertak mereka di meja
pendaftaran sampai akhirnya mereka menuntun kami ke ruang IGD. Ibu-ibu yang
kutatap dengan mata membesar dan wajah garang, yang awalnya tadi tidak ramah,
justru tatapannya kini menjadi lebih melembut. Mungkin mereka paham, inilah
bukti rasa cinta anak pada bapaknya. Aku yakin, tatapannya yang mengatakan
bahwa ia trenyuh melihatku bertindak demikian, meski aku menggertaknya dengan
kasar dan tanpa hormat. Lalu, mereka berdua yang berada di meja pendaftaran
menuntun kami, sampai akhirnya kami dilayani di ruang IGD.
Tapi
derita tidak berakhir di sini saja. Emosiku kembali tersulut. Di IGD, setelah
untuk ke sekian kalinya kami dipontang-pantingkan, kutatap bapak-bapak yang
sudah lumayan sepuh dengan wajah tak bersahabat dan ucapan yang penuh dengan
demo penekanan. Ahhhh, aku masih ingat, saat itu ada mbak-mbak yang menatapku
aneh. Biar saja! Emang dia juga mau, bapaknya
yang lagi sakit diperlakukan kurang ramah di Puskesmas? Enggak kan?
Makanya, udah, situ kerja jangan yang bener aja, tapi tonjolin juga sifat
ramahnya!
Sampai
akhirnya, ibu-ibu yang memeriksa bapak pun datang. Buset dah, gimana ya? Aku
sebenarnya mau moles kalimatku ini dengan tidak vulgar, tapi, juju aja sih,
ibuknya nggak ramah sama sekali! Serius deh! Jujur ibuk yang memeriksa bapak
nggak ramah! Udah tau bapak sakit, eh masih aja dia “nyerocos pake mulutnya
yang nyebelin” (sorry, aku udah nggak bisa nahan emosi ni sepertinya haha),
dengan bilang dan neken bapak, kenapa nggak datang tadi pagi? Bukankah ini udah
siang dan pendaftaran tutup?
Buseeeettt
ibuk! Orang sakit mah kagak lihat jam yak! Emang situ mau, bapaknya tiba-tiba
terserang penyakit, missal katakanlah jam 6 sore, terus nggak ada Puskesmas atau
rumah skait yang mau kasih tindakan hanya gara-gara “SUDAH BUKAN JAM KERJA!”
Ibuk mau nasib bapak Ibuk seperti itu?
Ya,
sebagai manusia yang punya harga diri, tentu bapak saya bilang lah ya, kalau
memang sakitnya baru terasa. Dan sungguh seandainya kalian mellihat ekspresi
bapak saya siang itu, sudah tak bertenaga, tak bergairah, ahhhhhh! Tapi masih
bisa saja tu ibuk nyeletuk dengan bilang, “Aku cuma bilang aja kok, Pak!”
Halo
Ibuk, gue ngerti banget! Ibuk itu emang nggak mau kalah! Sebenarnya sehebat apa
sih Anda!
Namun,
sudahlah! Kalian tahu, apa? Alhamdulillah pada akhirnya ibuk-ibuk itu ramah
pada bapak. Ibuk-ibuk itu juga menatapku saat menasihati bapak untuk ini-itu. Aku
jadi ingat, dengan orang yang aku gertak di meja pendaftaran tadi. Mereka sama
sekali tidak marah. Iya, mereka tidak marah sempatku gertak seperti tadi. Malah
mereka yang menuntun kami sampai akhirnya bapak mendpaat tindakan. Iya, aku
yakin. Mereka semua melihat tingkahku yang “memang belum begitu dewasa” ini
dengan pandangan lain. Mereka tidak melihatku sebagai seorang perempuan yang
suka merajuk dan mengamuk. Mereka justru melihatku sebagai seorang anak yang
saking sayangnya pada sang bapak, sampai akhirnya terpaksa marah-marah seperti
tadi.
Oke
guys, kalian tahu apa tujuanku menulis ini? Aku hanya ingin menyampaikan
pengalamanku yang kurang menyenangkan dengan yang namanya petugas Puskesmas.
Kalian tahu, terakhir kali aku ke Puskesmas juga dalam keadaan marah-marah.
Selang beberapa bulan atau beberapa tahun, Mas Dedi juga mendapati pengalaman
yang kurang menyenangkan di Puskesma dari segi keramahan. Dan kali ini, aku
kembali mendapatinya.
Aku
bukan menyalahkan mereka. Jujur, aku menulis ini bukan untuk menyalahkan
mereka. Aku justru mau berbagi sesuatu dengan kalian. Apa kalian pernah
membayangkan, berapa gaji mereka? tidak banyak, percayalah! Guru, petugas
medis, adalah profesi yang ‘sakral’. Tapi justru untuk profesi sepenting itu, mereka
dibayar dengan upah rendah.
Aku
mengundang kalian pada diskusi kecil. Bagaimana menurutmu tentang hal ini?
Kalau aku boleh berpendapat, memang sih mereka dibayar dengan upah rendah.
Namun, apakah respon dari kekecewaan itu berbentuk perlakuan yang tidak ramah dengan
pasien? Mereka menumbalkan pasien atas kekecewaan yang seharusnya mereka tunjukkan
pada pemerintah dan Negara.
Entahlah,
kalau pendapatku sih, itu adalah urusan dunia medis dengan Negara. Tolong
bedakan saja hubungan tersebut, karena di sini ada dua hubungan. Pertama hubungan
dunia medis dengan negara. Kedua, hubungan dunia medis dengan masyarakat.
Dan
aku bersukur, pada akhirnya mereka ramah dengan bapak.
Mungkin
kalian bingung, tulisanku ini mau dibawa kemana sih?hahaha, sudah kukatakan,
aku memancing diskusi di sini. Silahkan berpendapat terkait pengalaman dan pola
pemikiranku ini :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar