Assalamualaikum,
Bapak.
Selamat
pagi, Bapak. Selamat siang, Bapak. Selamat malam, jika Bapak baru membaca
suratku di malam hari. Selamat untuk apa saja yang sedang Bapak lakukan ketika menerima
dan membaca surat ini. Selamat apapun, Bapak.
Bapak,
bagaimana kabar Bapak? Bgaiamana keluarga di rumah? Bapak sehatkah? Mamah
bagaimana? Ahhhh, kenapa jadi kaku seperti ini ya, Pak?
Susah,
Pak. Susah membuat suatu pengantar surat untuk bercerita pada Bapak. Bercerita
tentang kehidupanku di sini. Bercerita tentang warna-warni kehidupan kampus dan
juga bagaimana hiruk pikuk suasana yang mendewasakanku selama di sini. Aku tak
terbiasa, Pak. Yang biasa bagiku, bercerita pada mamah karena beliaulah yang
paling mudah dicari di rumah. Ahhh, jadi ingat. Seringkali dalam perjalanan
pulang ke rumah saat pulang sekolah, wajahku sudah muram. Bahkan tak jarang aku
menangis sesenggukan di sepanjang perjalanan menuju rumah karena ulah
teman-temanku yang jail dan nakal di masa kanak-kanak. Begitu kubuka pintu,
wajah mamahlah yang langsung kudapat. Beliau lalu memeluk dan membelai rambutku
saat aku mulai bercerita. Setelah itu, sudah.
Rasanya
semua masalah sudah selesai. Rasanya aku lupa kalau hari itu dan
kemarin-kemarin aku pulang dalam keadaan menangis. Meski kemungkinan hari seok
aku akan pulang dalam keadaan menangis lagi, aku tak takut. Entah mengapa tak
sedikit pun ketakutan pada apapun muncul jika aku dalam pelukan mamah. Mamahlah
yang menghapus mendung durja di raut wajahku, Pak. Mamah yang menghapusnya,
hanya mamah saja. Ketika sore tiba, aku tak memiliki alasan bersedih lagi. Saat
itulah Bapak di rumah. Untuknya aku tak perlu mengungkit kesedihanku hari itu.
Ahhh,
langit sudah bertabur bintang! Ternyata sudah malam, Bapak. Tentunya aku harus
belajar bukan? Bapak menasihatiku untuk belajar keras agar menjadi anak yang
cerdas. Kewajibanku adalah menjadi lebih sukses dari dan melebihi Bapak. Itu
nasihat Bapak, bukan? Agar waktu yang Bapak alokasikan untuk bekerja tidak
terbuang percuma. Agar tidak sia-sia selama ini Bapak bekerja banting tulang.
Nasihat Bapak membuatku semakin giat.
Setiap
malam aku belajar menghadapi ulangan esok harinya. Ketika ujian SD semakin
dekat, Bapak menuntutku semakin giat. Lalu, usahaku harus semakin keras ketika
tiba-tiba aku masuk SMP. Ulangan menjadi lebih sering mampir di masa SMP. Aku yang
waktu itu masih SMP tak bisa mengelak. Kuhadapi ulangan dari tahun ke tahun
sampai akhirnya ujian kelulusan SMP tiba. Masuk SMA yang kata orang adalah masa
putih abu-abu, tentu memberikan tantangan yang lebih besar. Aku yakin Bapak
akan menasihatiku untuk belajar lebih giat. Aku pun belajar semakin keras, dari
sore sampai menjelang waktu tidur aku belajar. Aku mengurung diri di kamar dari
sore sampai malam itu juga dan baru keluar ketika jam makan malam tiba atau sekadar
ke kamar mandi. Malam-malam yang kulalui adalah untuk belajar. Tiada waktu
tanpa belajar. Malam Minggu ketika aku boleh meninggalkan meja belajar, teman-teman
seumuranku mengajak jalan keluar. Malam Minggu bagi kebanyakan orang seakan
menjadi waktu untuk sahabat ya, bukan kerabat? Saban hari aku memikirkannya.
Kapan malam untuk keluarga itu tiba, sampai akhirnya, tahu-tahu aku harus
menghadapi ujian kelulusan SMA.
Jenuh
bukan, Pak, mengikuti ritme datar yang demikian? Jenuh. Aku sebagai siswa pun jenuh. Begitu pula
Bapak yang tentu lebih jenuh. Jenuh, lelah, dan letih lebih Bapak rasakan.
Tidak ingin mengecewakan aktivitas yang membuat Bapak kelelahan di malam hari,
saban malam aku belajar saat Bapak istirahat. Dan ketika Bapak benar-benar
istirahat (pensiun), adalah saat di mana aku dinyatakan lulus SMA.
Tapi
Bapak tahu? Ada yang menyesakkan di tengah merdekanya aku sebagai siswa dan
Bapak sebagai abdi negara. Aku sempat berpikir. Setelah Bapak pensiun dari tempat
yang sudah merenggut momen sarapan bersama kita, kita bisa memulainya dari enol
lagi. Aku membayangkan setelah kita sama-sama merdeka, kita bisa duduk melingkari
satu meja saat sarapan pagi. Senangnya membayangkan itu. Setiap hari, tentu akan
kunanti esok dengan suka cita menyambut momen ‘sakral’ itu. Aku pun mengira
akan mendapati Bapak di depan pintu saat aku pulang.
Namun,
ternyata masih belum bisa demikian Bapak. Sekarang ketika bangun di pagi hari,
semua suasananya sudah berubah, lebih dari yang kubayangkan sebelumnya.
Jangankan hanya bangun pagi, sarapan pun berubah total. Bahkan selain tidak ada
Bapak, tidak ada pula mamah yang memasakkanku sarapan dan menemaniku di meja
makan. Tidak ada, Bapak. Dan bukan Bapak yang kudapati di depan pintu saat aku
pulang, bukan pula mamah. Aku justru mendapati ruang sempit yang langsung
menyuguhkan kasur dan rak buku yang di dalamnya berjejalan buku-buku kuliah dan
novel-novel yang kulahap ketika tiba-tiba aku merasa asing di sini. Iya, Pak.
Di saat kesempatan bersama Bapak datang, akulah yang harus pergi ke kota orang
untuk melanjutkan jenjang studiku. Aku yakin Bapak akan menasihatiku, “Semua
ini, demi masa depanmu, Nak.”
Bapak,
ternyata aku bisa bercerita banyak ya? Ahhh, menurutku ini bukan semacam cerita.
Mungkin inilah yang namanya mengaduh dan, mungkinkah mengeluh? Bapak, tidak! Aku
tidak mengeluh, Bapak. Aku hanya ingin mengingatkan masa-masa terbuang yang
seharusnya menjadi kebersamaan kita. Kenapa justru mengaduh tentang masa lalu
yang kukatakan lewat surat ini? Jujur aku masih kesulitan dan merasa kaku untuk
menceRitakan warna-warni kuliahku dengan Bapak.
Mungkin
kalau ada mamah di sini, aku bisa dengan mudah bercerita. Tanpa aku berusaha
keras merangkai serangkaian diksi pun, mamah pasti memahami ceritaku.
Karenanya, aku akan lebih mudah bercerita sampai mengalir sudah semua cerita
tanpa bisa kuhentikan kecuali bila air mataku sudah berhenti mengalir. Semua
lebih mudah kalau ada mamah. Namun di lain itu, aku pun tak akan dengan mudah
mendapat kesempatan melanjutkan belajar di kota pelajar ini, jika tidak ada
Bapak.
Bapak,
kita memang jarang memiliki kesemptan bersama. Aku iri dengan teman-temanku
yang dekat dengan ayah mereka. Aku iri pada teman-temanku yang begitu mudah
menceritakan bagaimana sekolahnya pada bapaknya. Namun, ternyata banyak juga
dari mereka yang iri padaku. Mereka iri karena bapak mereka tidak cukup mampu
untuk membiayai kuliah di universitas ternama negeri ini. Iya, Bapak. Aku yang
iri pada mereka, jutru mereka juga iri kepadaku.
Bapak,
selama di sini aku semakin dewasa. Keberadaanku di kota orang membuatku menjadi
benar-benar paham. Perjalananku sampai saat ini adalah bukti cinta Bapak. Bukti
cinta yang sempat tertutupi atas momen sarapan yang hilang. Dan aku benar-benar
sadar. Adanya aku adalah bukti cinta Bapak yang paling nyata. Adanya aku yang
berdiri tegak adalah alasan punggung Bapak yang tegak saat bekerja. Saat ini
dan nanti, lariku akan melesat semakin cepat mengejar mimpi. Nanti, sejauh mana
kaki ini berlari, dia tak akan pernah menjauh dari sosok yang membuatnya
melangkah jauh. Bapak, sejauh mana pun nanti aku berlari, kaki ini selalu
berporos pada sosok yang membuatnya “ada dan bisa”.
Wassalamualaikum, Bapak.
Putrimu,
yang terus berlari meraih mimpi, sampai saat ini dan nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar