Jumat, 21 Juni 2013

19 Juni (Ketika Peka itu Mulai Ada)


19 Juni

Aku mengagendakan menegrjakan suatu kerjaan yang sudah lama kutunda. Namun akhirnya, kembali aku menunda pekerjaan ini. Bukan karena apa. Aku bersimpati dan terinspirasi. Mbak Hesti, seperti biasa datang dengan keceriaannya ke kamar. Ada atau tidak ada yang dilakukan ataupun diobrolkan, dia rutin bertendeng ke sini.

Aku sudah memulai aktivitas dengan leptopku. Mbak Hesti seperti biasa, tiduran di kasur. Tiba-tiba, percakapan itu pun dimulai dengan pertanyaan, “Itak sayang sama orang tua Itak?”
Sontak aku menghentikan aktivitasku. Jawaban “Iya” dariku memancing pertanyaan selanjutnya. “Apa yang Itak lakukan untuk mengekspresikan rasa sayang Itak?” Aku berpikir dan berargumen. Dari tanya jawab singkat itulah, Mbak Hesti mulai dengan curhatnya.
Kedalaman hati seseorang siapa yang tahu sih, kecuali dia dan Dia? Mbak Hesti, manusia normal pada umumnya yang menjelma sebagai seorang asdos ini kami kenal sebagai sosok perempuan yang selalu ceria. Lewat curhatnya aku dibukakan sebuah tabir yang memaparkan realitas di balik kisah hidupnya selama ini. Kita memang tidak bisa menebak kisah semacam apa yang tercongkol di diri seseorang, di balik pembawaannya sehari-hari. Aku mengenal Mbak Hesti sekitar empat bulan. Namun, aku merasa baru hari ini aku mengenal si penyuplai makanan kami ini. Hari ini, untuk pertama kalinya aku melihat kristal duka menetes dari matanya.
Aku sama sekali tidak merasa rugi menunda kembali tugasku. Aku begitu bersimpati dengan sosok yang sudah aku anggap sebagai kakakku ini. Berbagi cerita dukanya denganku mungkin tidak akan berarti banyak. Mungkin aku tak atau belum bisa memberikan saran yang bijak. Namun aku yakin, hatinya akan lebih tenang manakala ia telah berbagi duka denganku.  Aku mendapatkan suatu tamparan maha dasyat dari curhatannya. Saking dasyatnya hanya daaat dirasakan oleh hati. Selama seseorang itu memiliki hati, pasti ia dapat merasakannya.
Aku kembali teringat. Tindakan yang aku anggap sebagai “pertengkaran” dengan Mas Dedi. Segala hal yang kurasa, telah membuat jarak menganga lebar di antara kami. Oh sungguh bukan di antara kami jarak itu menganga lebar. Jarak itu, hanya aku yang membuatnya. Ia, sosok yang selama ini tak cukup kukenal, begitu menaruk posisinya sedekat mungkin denganku. Akulah adiknya yang amat tolol dengan membuat jarak seperti ini.
Tuhan sepatutnya aku bersukur. Rasa sukur itu tidak hanya sebatas kata Alhamdulillah. Sepatutnya aku harus lebih peka dan peduli. Mendengar cerita Mbak Hesti yang berjuang sekuat tenaga melakukan pendekatan dengan kakak dan ibu kandungnya sendiri, membuat aku bertekad melakukan hal yang sama. Aku ingin kembali ‘bertengkar’ dengan Mas Dedi seperti waktu kami kecil dulu. Laki-laki paling ‘menyebalkan’ yang aku namai sebagai Troble Maker. Aku tidak akan menganggap ‘pertengkaran’ itu sebagai ‘jarak’ lagi.
Aku tak akan sungkan memulai terlebih dahulu. Kemarin-kemarin, Mas Hadi selalu aktif menanyakan kabar dariku. Baik sms maupun chatting. Lebih sering melalui chatting. Ketika aku didapatinya tengah OL, dia langsung memulai obrolan dengan menanyakan “posisi”. Pertanyaan selanjutnya adalah seputar KKN. Ketika aku mulai jengah dengan pertanyaannya, di suatu kesempatan saat dia memulai chatting dengan menanyakan pisisi, aku menjawab di mana aku dan langsung lanjut mengatakan aku belum tau KKN di mana. Sebuah sindiran atas pertanyaan lanjut yang akan dia lontarkan. Oh, bahkan dia lebih peduli dengan kuliahku dari pada diriku yang sedikit acuh dengan kuliah. Riskan ketika aku teringat bahwa tinggal beberapa hari lagi ujian, kalau bukan karena Mas Hadi menanyakan kapan aku ujian. Bukankah selain menjadi adik yang tolol, aku juga mahasiswa yang tolol?
Aku kini yang memulai duluan. Aku memulai obrolan via chating dengan meniru gaya khasnya. Pertama aku bertanya “posisi”. Di malam selarut ini dia masih di kantor. Dia bercerita beberapa hari ini dia lembur di kantor karena banyak kerjaan. Oh, pasti Mas Hadi begitu kesepian di sana.  Mengejar karir di sebuah pulau tempat ari-arinya disimpan. Dia sendirian jauh dengan sitri dan anaknya. Ia pula jauh dengan mamah yang begitu ia hormati. Ia juga jauh dengan bapak dan adik-adiknya.
Akhirnya, aku harus berubah. Aku bersukur memiliki keluarga yang utuh. Aku memiliki keluarga yang begitu oeduli dan selalu bertambah kepeduliannya setiap hari. Rasa sukur itu, tidak hanya sebatas kata Alhamdulillah. Rasa sukur itu adalah tindakan dan kepekaan. Tindakan perubahan yang akan kulakukan untuk keluargaku. Meski nanti mereka akan terheran dan geleng-geleng kepala dengan tingkahku, namun yakinlah! Aku punya versi sukses menurut diriku sendiri. Jalanku pun berbeda. AKU SAYANG KALIAN  KARENA ALLAH J  

6 Juni 2013 (Ibu Aku Menangis)

Ibu, hari ini aku menangis. Aku tak mampu membendung air mata yang akhirnya mengucur deras keluar saat aku masih di kampus. Dalam radius sekitar 30 km dari rumah, dapatkah mata batinmu mendengarkan sesenggukan tangisku?
Hari ini aku menjadi pecundang Ibu. Aku merasa menjadi makhluk yang sangat mengecewakan Ibu. Ibu, oh ibu. Bahkan sejak kelahiranku, sebelum akhirnya aku bisa mengucapkan satu dua huruf, engkau sudah lebih dulu bangga padaku. Hanya kemampuan sekecil itu, seorang Ibu menjadi bangga. Lalu bukankah tidak ada manusia yang dilahirkan untuk menjadi makhluk yang mengecewakan.
Aku seperti berada di dalam batas kesabaranku Ibu. Lebih dari 21 tahun aku mendengar komentar mereka, semua orang yang berada di sekelilingku. Mengapa komentar mereka selalu seragam? Mengapa akhirnya aku dikenal sebagai Ita yang lemot Ibu? Mengapa aku berbeda dengan putra pertamamu, seorang anak yang membanggakan? Mengapa aku berbeda dengan kakakku?
Hari ini aku kecewa. Aku sedih dan berduka. Aku kecewa dengan teman-temanku yang teramat sering mengomentari kelemotanku. Bukan! Sejujurnya, aku lebih kecewa pada diriku sendiri! Apakah memang seperti inilah diriku? Apakah memang tidak ada yang bisa dilakukan untuk merubah diriku yang sepicik ini?
Aku lari menjauhi mereka semua Ibu. Aku menjauhi orang-orang yang tidak percaya bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahwa tidak ada kata sempurna di dunia ini. Dengan berurai air mata aku berlari menjauhi mereka Ibu. Aku melepas jaketku, dan membenamkan isak tangisku di dalam sana. Di depan front offise aku bersamaan dengan isak tangis itu, batinku menjerit. Aku dipaksa keadaan untuk selalu mengingat kejadian hari ini. Bahwa nanti, saat aku telah menjadi penulis terkenal dan bermanfaat, pernah terjadi suatu duka di hari ini, 6 Juni. Aku semakin terisak Ibu. Dapatkah mata batinmu mendengar suara isak tangisku?
Dan ternyata aku butuh terus berbenah Ibu. Rupanya aku merasa tersakiti dengan perkataan seorang lelaki yang kasar.