MEREKA BILANG AKU GILA
Membuang, mencampakan, membiarkan lepas
begitu saja menghadapi kehidupan luar yang liar merupakan tindakan paling salah
yang dilakukan oleh keluarga terdekat untuk seorang penyandang penyakit mental.
Bagi penyandang penyakit mental yang terganggu jiwanya dan terganggu segala
macamnya, yang mereka butuhkan pertamakali untuk mendukung kesembuhannya adalah
dorongan dari keluarga inti. Ketika dorongan penyemangat dari keluarga itu
tidak ada, alhasil, kisah tragis seperti Ken Steele, penyandang penyakit mental
yang terganggu jiwanya dengan nama skizofrenia inilah yang akan terjadi.
Ken Stele, dalam usianya yang ke 14,
mulai mendengarkan suara-suara halusinasi yang menyuruh untuk mengakhiri
hidupnya. Suara-suara itu terdengar seakan mengejeknya, membuatnya depresi,
berteriak-teriak tanpa celah, mengikuti ke mana Ken pergi. Pada akhirnya, suara
itu berhenti, setelah menemani perjalanan hidupannya yang luar biasa selama 32
tahun. Pada awal-awal usia suara itu, Ken sempat melakukan apa yang disuruh
oleh suara-suara tersebut dengan melarikan diri ke hutan, terjun ke jalan,
membakar tubuhnya dnegan bensin, tetapi semua usaha itu gagal. Pada awal-awal
usaha mengusir suara itu, Ken mendatangi sahabat satu-satunya, neneknya sendiri
untuk menceritakan tentang suara-suara itu. Dari sang nenek, Ken mengartikan
suara-suara itu adalah iblis seperti pada kitab injil yang mengganggunya,
mencoba menguasai kehidupannya. Namun hal itu pun tidak membuat Ken lantas
sembuh atau tenang, maka pergilah ia ke gereja menemui pastur, untuk melakukan
pengakuan dosa. Seusai ia melakukan pengakuan dosa, entah tiba-tiba ia dibawa
ke rumah sakit guna melakukan pemeriksaan medis, dan itu tak lain dan tak bukan
adalah tindakan snag pastur. Ketika pemeriksaan belum selesai, Ayah Ken yang
kurang begitu peduli terhadap penyakit putranya ini, membawanya pulang. Ketika
usaha itu dicegah oleh berbagai pihak, sang ayah tetap membawa Ken pulang dan
membiarkan nasihat itu berlalu begitu saja di telinganya.
Tak lama setelah kejadian itu, Ken mendatangi
sang ayah dan bertanya tentang penyakit macam apa yang diidapnya. Dari mana
asal suara-suara jahat itu? Serta mengapa tingkahnya kian begitu aneh. Karena
menerima tekanan terus-menerus dari Ken, sang ayah pun menuliskan nama penyakit
yang diidap Ken dengan huruf besar, SKIZOFRENIA.
Dari buku di perpustakaan, Ken
mengetahui definisi dari penyakit skizofrenia yang kini bercokol pada tubuhnya.
Dari sana dikatakan, bahwa Ski.zo.fre.nia : penyakit jiwa yang ditandai oleh
penolakan terhadap realitas, berkhayal (delusi), halusinasi, dan hancurnya
kepribadian. Ciri-ciri lain mencakup kegilaan dan merasa berkuasa, tetapi daya
pikir tidak berkurang. Dari sana pula, Ken mengetahui fakta yang mengecewakan
bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Sebenarnya, Ken termasuk anak jenius di sekolah. Dia suka membaca, dan
nantinya, di beberapa rumah sakit jiwa dia selalu meminta buku karena dengan
membaca jiwanya bisa sedikit lebih tenang, dan suara-suara yang memborbardirnya
tidak akan begitu mengganggu ketika ia membaca. Ayahnya sendiri menginginkan
Ken pandai dalam bermain football. Tapi kenyataannya, Ken sama sekali tidak
bisa memenuhi harapan sang ayah. Dalam bidang akademik pun, Ken terus mengalami
kemerosotan, hingga pada akhirnya, Ken sudah mendapati dirinya tidak
disekolahkan oleh orang tuanya. Ken tidak lulus SMA.
Menghadapi kenyataan bahwa kini Ken
sudah tidak lagi sekolah, merupakan transisi dari statusnya yang dulu pelajar
menjadi pengangguran. Untuk itu, dengan hanya diantar sampai stasiun oleh kedua
orang tuanya, Ken berpindah ke kota lain untuk mendapatkan pekerjaan. Dari
sinilah awal kisah Ken bersama suara-suara itu sesungguhnya dimulai.
Sesampainya di kota tujuan, Ken
mendapati dirinya dalam kebingungan. Hal semacam inilah yang dijadikan mangsa
oleh orang-orang seperti Ted. Tak lama setelah Ken sampai di stasiun, dia
berkenalan dengan Ted, dan menginap di kamar Ted atas tawaran dari Ted. Dari
perkenalan inilah, Ken dibawa kepada dunia pelacuran waaria yang kelam.
Melayani pria satu dan yang lainnya pada malam-malam selanjutnya. Masih juga
harus memenuhi kebutuhan seks Ted. Semakin
menangnya suara-suara itu dalam kehidupan Ken. Mereka semakin memilki bahan
untuk menyerang Ken. Ini membuat Ken semakin depresi.
Pada suatu kesempatan, Ken melarikan
diri dari hidup Ted. Tentu saja Ted tidak akan tinggal diam. Pada tahun-tahun
setelahnya, Ted masih mencari-cari Ken yang akhirnya ditemuinya di Rumah sakit
jiwa, membawa kembali Ken pada dunia pelacuran, hingga pada akhirnya Ken kabur
untuk yang kedua kalinya dari kehidupan Ted. Pada kaburnya Ken yang pertama
dari kehidupan Ted, Ken selanjutnya berpindah dari jalan satu ke jalan lain.
Menjadi penyandang tunawisma bersama dengan suara-suara yang dimilikinya.
Memenuhi keinginan-keinginan suara-suara tersebut. Ken mencoba mengakhiri
hidupnya, lalu ketika ada orang yang memergokinya, dibawalah ia ke runmah sakit
negara dengan status ‘paksaan’.
Di rumah sakit jiwa, Ken diminumkan
obat ini itu. Di sidang dalam pengadilan dalam beberapa periode. Memasuki kelas
isolasi, mendapatkan hak jalan-jalan, memasuki rumah transisi, mendapatkan
pekerjaan, keluar dari rumah sakit entah itu karena sudah dinyatakan layak
keluar maupun kabur, itulah serangkaian kisah yang mewarnai kehidupan Ken
selama 32 tahun. Berpindah sari rumah sakit jiwa satu ke rumah sakit jiwa
lainnya. Menjajal rumah sakit jiwa a sampai z. Melalui tahapan pengobatan di
rumah sakit sampai ia hafal betul apa saja tahapannya, serta kiat-kiat apa saja
bila ia ingin mendapatkan hak jalan-jalan. Dinyatakan layak, keluar rumah
sakit. Di kehidupan luar, memenuhi keinginan suara-suaranya, masuk lagi rumah
sakit. Keluar masuk rumah sakit seperti rumahnya sendiri, dengan status
‘paksaan’ dan ‘sukarela’. Itulah rangkaian kisahnya yang membuat buku ini
nampak seperti hamberger, dan aku sampai laper membacanya.
Pada suatu ketika, ia menelpon orang
tuanya. Tanggapan datar muncul dari mulut ke dua orangtuanya setelah sekian
lama berpisah. Ternyata, nenek Ken sudah meninggal. Ken juga sudah memiliki seorang adik. Pada suatu
ketika juga, kedua orangtua Ken hendak menjemputnya, karena sang adik ingin
bertemu dengan sang kakak. Justru karena pertemuan inilah, rasa menjadi anak
yang ‘terbuang itu kembali muncul’. Ken mulai suka minum, dan tak jarang
mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Dengan melakukan itu, Ken merasa lebih
tenang tidak terlalu dikuasai oleh suara-suaranya, akan tetapi, justru inilah
yang membuat hidupnya menjadi semakin kacau. Pada awal-awal sampainya Ken di rumahnya,
dia disambut hangat oleh keluarganya. Adiknya sering mengajaknya ngobrol, dan
tak jarang mengajaknya untuk bermain football. Adik Ken ini benar-benar bisa
memenuhi harapan sang ayah. Ken pula dicarikan pekerjaan oleh ayahnya. Akan
tetapi, Ken tetaplah dikuasai oleh suara-suaranya. Pada suatu ketika, Ken tidak
berangkat kerja. Dia minum bir sampai mabuk, dan hendak memenuhi pertmintaan dari
suaranya untuk mengakhiri hidupnya. Alhasil, bukan kematian yang terjadi,
melainkan hal yang lebih buruk dari itulah yang terjadi. Sesadarnya Ken dari
kemabukannya, Ken sudah mendapati dirinya di dalam sel bersama sekujur tubuhnya
yang biru lebam.
Berita tentang Ken ini tersebar di
surat kabar dan menjadi halaman pertama. Di sana dikatakan bahwa Ken melakukan
tindakan amoral berupa mempertontonkan badannya yang bugil di kamar mandi
stasiun, kemudian lari-lari dikejar polisi, sampai akhirnya dia dipukuli massa
dan dimasukkan dalam sel penjara. Setelah menutup telepon, Ayah Ken
menjemputnya, dan memberikan jaminan. Ken pun bebas. Kali ini benar-benar
bebas. Sang adik sudah tidak mau mengobrol dengannya. Orangtuanya pun
menyuruhnya pergi dari rumah dan tidak diperbolehkan kembali lagi walau
sekalipun.
Kembali lagi Ken menjadi tunawisma, dan
langganan rumah sakit jiwa. Terkadang dia merasakan rumah sakit jiwa tempatnya
dirawat bak neraka. Suatu ketika pula dia merasakan benar-benar nyaman berada
di rumah sakit jiwa, karena mendapati pelayanan yang baik serta keluarga yang
mensupportnya untuk benar-benar sembuh. Singkat cerita, ketika Ken tengah
berada di rumah sakit jiwa yang membuatnya merasa nyaman, memberinya keluarga,
Ken merasa sedikit marah dan tertantang untuk memperjuangkan nasib orang yang
terganggu jiwanya. Lebih tepatnya, itu terjadi setelah Gubernur Cuomo berkata
bahwa keputusannya untuk menandatangani undang-undang itu merupakan “tindakan
yang baik dan mengharukan, tetapi bukan langkah politik yang cerdas sebab
orang-orang berpenyakit mental tidak memberikan suara, sedangkan mereka yang
menentang penandatanganan ini sebaliknya”.
Menghadapi kemarahannya, pada November
1994 Ken memulai proyek pemberdayaan pemilih Kesehatan mental. Hari-hari serta
bulan-bulan berikutnya, Ken disibukkan dengan pekerjaan tersebut, atas restu
Dr. Seiden. Hingga karena kesibukannya itulah, pada suatu sore Ken menyadari
bahwa, dia kehilangan suara-suaranya.
Dalam
proses penyembuhan Ken, Dr. Seiden memang memberikan obat yang berbeda. Dia
selau menanyakan kepada Ken, “Adakah efek samping setelah kamu meminumnya?” Ken
pun mulai menyadari pentingnya pertanyaan tersebut. Dia menarik kesimpulan
bahwa obat-obat itulah yang sudah mengusir suara-suara iblis itu. Pada suatu
terapi, Ken mengatakan kondisi kenyataan hidupnya dengan sebenar-benarnya
kepada Dr. Seiden. Dia pula mengatakan tentang suara-suaranya yang sudah
hilang. Mulai saat itulah lembaran baru dibuka oleh Ken.
Untuk selanjutnya,
Ken menerbitkan New York City Voice : A
concumer Journal for mental health Advocacy. Ken pulalah yang menjadi
penyunting The Reporter, sebuah berita berkala bulanan Aliansi nasional untuk
penyakit mental/cabang NCY-Metro dan juga menjadi juru bicara Asosiasi
kesehatan mental nasional “Partner in Care”. Selanjutnya, hari-hari Ken disibukkan
dengan menjadi pendengar bagi orangtua-orangtua yang anaknya mengalami gangguan
mental, pemberi solusi-solusi dari orang-orang yang memghubunginya, berbagi
kisah hidupnya yang sempat hilang selama 32 tahun ke berbagai negeri.
Ken merasa kini hidupnya sangat jauh
berbeda. Dia kini sudah mendapatkan kembali kehidupan, setelah selama 32 tahun suara-suaranya
telah mengambil kehidupan darinya. Dengan didampingi oleh orang-orang yang
peduli dengannya, keluarga baru yang selalu menyuportnya dari belakang dan dengan
setahun dua kali dikunjungi oleh kedua orangtuanya (pada hari natal dan hari
ulang tahunnya), Ken memiliki khayalan :: Pada abad baru ini, orang berpenyakit
mental akan punya sarana untuk meninggalkan gubuk-gubuk pengasingan. Akhirnya
kami akan bergabung bersama masyarakat pada umumnya, tempat kami akan mampu
hidup sebagai individu-individu yang mandiri dan bukan sebagai kelompok orang
yang dikenal dan ditakuti karena nama penyakit kami.
*Ken Steele meninggal dunia akibat
serangan jantung di rumahnya, 7 Oktober 2000, dua hari sebelum ulang tahunnya
yang ke-52.
^*^ Semoga Bermanfaat Gan
By : Ita Tifuzh