Minggu, 18 Maret 2012

RESUME OF "Mereka Bilang Aku Gila"


MEREKA BILANG AKU GILA

Membuang, mencampakan, membiarkan lepas begitu saja menghadapi kehidupan luar yang liar merupakan tindakan paling salah yang dilakukan oleh keluarga terdekat untuk seorang penyandang penyakit mental. Bagi penyandang penyakit mental yang terganggu jiwanya dan terganggu segala macamnya, yang mereka butuhkan pertamakali untuk mendukung kesembuhannya adalah dorongan dari keluarga inti. Ketika dorongan penyemangat dari keluarga itu tidak ada, alhasil, kisah tragis seperti Ken Steele, penyandang penyakit mental yang terganggu jiwanya dengan nama skizofrenia inilah yang akan terjadi.
Ken Stele, dalam usianya yang ke 14, mulai mendengarkan suara-suara halusinasi yang menyuruh untuk mengakhiri hidupnya. Suara-suara itu terdengar seakan mengejeknya, membuatnya depresi, berteriak-teriak tanpa celah, mengikuti ke mana Ken pergi. Pada akhirnya, suara itu berhenti, setelah menemani perjalanan hidupannya yang luar biasa selama 32 tahun. Pada awal-awal usia suara itu, Ken sempat melakukan apa yang disuruh oleh suara-suara tersebut dengan melarikan diri ke hutan, terjun ke jalan, membakar tubuhnya dnegan bensin, tetapi semua usaha itu gagal. Pada awal-awal usaha mengusir suara itu, Ken mendatangi sahabat satu-satunya, neneknya sendiri untuk menceritakan tentang suara-suara itu. Dari sang nenek, Ken mengartikan suara-suara itu adalah iblis seperti pada kitab injil yang mengganggunya, mencoba menguasai kehidupannya. Namun hal itu pun tidak membuat Ken lantas sembuh atau tenang, maka pergilah ia ke gereja menemui pastur, untuk melakukan pengakuan dosa. Seusai ia melakukan pengakuan dosa, entah tiba-tiba ia dibawa ke rumah sakit guna melakukan pemeriksaan medis, dan itu tak lain dan tak bukan adalah tindakan snag pastur. Ketika pemeriksaan belum selesai, Ayah Ken yang kurang begitu peduli terhadap penyakit putranya ini, membawanya pulang. Ketika usaha itu dicegah oleh berbagai pihak, sang ayah tetap membawa Ken pulang dan membiarkan nasihat itu berlalu begitu saja di telinganya.
Tak lama setelah kejadian itu, Ken mendatangi sang ayah dan bertanya tentang penyakit macam apa yang diidapnya. Dari mana asal suara-suara jahat itu? Serta mengapa tingkahnya kian begitu aneh. Karena menerima tekanan terus-menerus dari Ken, sang ayah pun menuliskan nama penyakit yang diidap Ken dengan huruf besar, SKIZOFRENIA.
Dari buku di perpustakaan, Ken mengetahui definisi dari penyakit skizofrenia yang kini bercokol pada tubuhnya. Dari sana dikatakan, bahwa Ski.zo.fre.nia : penyakit jiwa yang ditandai oleh penolakan terhadap realitas, berkhayal (delusi), halusinasi, dan hancurnya kepribadian. Ciri-ciri lain mencakup kegilaan dan merasa berkuasa, tetapi daya pikir tidak berkurang. Dari sana pula, Ken mengetahui fakta yang mengecewakan bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.


Sebenarnya, Ken termasuk anak  jenius di sekolah. Dia suka membaca, dan nantinya, di beberapa rumah sakit jiwa dia selalu meminta buku karena dengan membaca jiwanya bisa sedikit lebih tenang, dan suara-suara yang memborbardirnya tidak akan begitu mengganggu ketika ia membaca. Ayahnya sendiri menginginkan Ken pandai dalam bermain football. Tapi kenyataannya, Ken sama sekali tidak bisa memenuhi harapan sang ayah. Dalam bidang akademik pun, Ken terus mengalami kemerosotan, hingga pada akhirnya, Ken sudah mendapati dirinya tidak disekolahkan oleh orang tuanya. Ken tidak lulus SMA.
Menghadapi kenyataan bahwa kini Ken sudah tidak lagi sekolah, merupakan transisi dari statusnya yang dulu pelajar menjadi pengangguran. Untuk itu, dengan hanya diantar sampai stasiun oleh kedua orang tuanya, Ken berpindah ke kota lain untuk mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah awal kisah Ken bersama suara-suara itu sesungguhnya dimulai.
Sesampainya di kota tujuan, Ken mendapati dirinya dalam kebingungan. Hal semacam inilah yang dijadikan mangsa oleh orang-orang seperti Ted. Tak lama setelah Ken sampai di stasiun, dia berkenalan dengan Ted, dan menginap di kamar Ted atas tawaran dari Ted. Dari perkenalan inilah, Ken dibawa kepada dunia pelacuran waaria yang kelam. Melayani pria satu dan yang lainnya pada malam-malam selanjutnya. Masih juga harus  memenuhi kebutuhan seks Ted. Semakin menangnya suara-suara itu dalam kehidupan Ken. Mereka semakin memilki bahan untuk menyerang Ken. Ini membuat Ken semakin depresi.
Pada suatu kesempatan, Ken melarikan diri dari hidup Ted. Tentu saja Ted tidak akan tinggal diam. Pada tahun-tahun setelahnya, Ted masih mencari-cari Ken yang akhirnya ditemuinya di Rumah sakit jiwa, membawa kembali Ken pada dunia pelacuran, hingga pada akhirnya Ken kabur untuk yang kedua kalinya dari kehidupan Ted. Pada kaburnya Ken yang pertama dari kehidupan Ted, Ken selanjutnya berpindah dari jalan satu ke jalan lain. Menjadi penyandang tunawisma bersama dengan suara-suara yang dimilikinya. Memenuhi keinginan-keinginan suara-suara tersebut. Ken mencoba mengakhiri hidupnya, lalu ketika ada orang yang memergokinya, dibawalah ia ke runmah sakit negara dengan status ‘paksaan’.
Di rumah sakit jiwa, Ken diminumkan obat ini itu. Di sidang dalam pengadilan dalam beberapa periode. Memasuki kelas isolasi, mendapatkan hak jalan-jalan, memasuki rumah transisi, mendapatkan pekerjaan, keluar dari rumah sakit entah itu karena sudah dinyatakan layak keluar maupun kabur, itulah serangkaian kisah yang mewarnai kehidupan Ken selama 32 tahun. Berpindah sari rumah sakit jiwa satu ke rumah sakit jiwa lainnya. Menjajal rumah sakit jiwa a sampai z. Melalui tahapan pengobatan di rumah sakit sampai ia hafal betul apa saja tahapannya, serta kiat-kiat apa saja bila ia ingin mendapatkan hak jalan-jalan. Dinyatakan layak, keluar rumah sakit. Di kehidupan luar, memenuhi keinginan suara-suaranya, masuk lagi rumah sakit. Keluar masuk rumah sakit seperti rumahnya sendiri, dengan status ‘paksaan’ dan ‘sukarela’. Itulah rangkaian kisahnya yang membuat buku ini nampak seperti hamberger, dan aku sampai laper membacanya.
Pada suatu ketika, ia menelpon orang tuanya. Tanggapan datar muncul dari mulut ke dua orangtuanya setelah sekian lama berpisah. Ternyata, nenek Ken sudah meninggal. Ken  juga sudah memiliki seorang adik. Pada suatu ketika juga, kedua orangtua Ken hendak menjemputnya, karena sang adik ingin bertemu dengan sang kakak. Justru karena pertemuan inilah, rasa menjadi anak yang ‘terbuang itu kembali muncul’. Ken mulai suka minum, dan tak jarang mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Dengan melakukan itu, Ken merasa lebih tenang tidak terlalu dikuasai oleh suara-suaranya, akan tetapi, justru inilah yang membuat hidupnya menjadi semakin kacau. Pada awal-awal sampainya Ken di rumahnya, dia disambut hangat oleh keluarganya. Adiknya sering mengajaknya ngobrol, dan tak jarang mengajaknya untuk bermain football. Adik Ken ini benar-benar bisa memenuhi harapan sang ayah. Ken pula dicarikan pekerjaan oleh ayahnya. Akan tetapi, Ken tetaplah dikuasai oleh suara-suaranya. Pada suatu ketika, Ken tidak berangkat kerja. Dia minum bir sampai mabuk, dan hendak memenuhi pertmintaan dari suaranya untuk mengakhiri hidupnya. Alhasil, bukan kematian yang terjadi, melainkan hal yang lebih buruk dari itulah yang terjadi. Sesadarnya Ken dari kemabukannya, Ken sudah mendapati dirinya di dalam sel bersama sekujur tubuhnya yang biru lebam.
Berita tentang Ken ini tersebar di surat kabar dan menjadi halaman pertama. Di sana dikatakan bahwa Ken melakukan tindakan amoral berupa mempertontonkan badannya yang bugil di kamar mandi stasiun, kemudian lari-lari dikejar polisi, sampai akhirnya dia dipukuli massa dan dimasukkan dalam sel penjara. Setelah menutup telepon, Ayah Ken menjemputnya, dan memberikan jaminan. Ken pun bebas. Kali ini benar-benar bebas. Sang adik sudah tidak mau mengobrol dengannya. Orangtuanya pun menyuruhnya pergi dari rumah dan tidak diperbolehkan kembali lagi walau sekalipun.
Kembali lagi Ken menjadi tunawisma, dan langganan rumah sakit jiwa. Terkadang dia merasakan rumah sakit jiwa tempatnya dirawat bak neraka. Suatu ketika pula dia merasakan benar-benar nyaman berada di rumah sakit jiwa, karena mendapati pelayanan yang baik serta keluarga yang mensupportnya untuk benar-benar sembuh. Singkat cerita, ketika Ken tengah berada di rumah sakit jiwa yang membuatnya merasa nyaman, memberinya keluarga, Ken merasa sedikit marah dan tertantang untuk memperjuangkan nasib orang yang terganggu jiwanya. Lebih tepatnya, itu terjadi setelah Gubernur Cuomo berkata bahwa keputusannya untuk menandatangani undang-undang itu merupakan “tindakan yang baik dan mengharukan, tetapi bukan langkah politik yang cerdas sebab orang-orang berpenyakit mental tidak memberikan suara, sedangkan mereka yang menentang penandatanganan ini sebaliknya”.
Menghadapi kemarahannya, pada November 1994 Ken memulai proyek pemberdayaan pemilih Kesehatan mental. Hari-hari serta bulan-bulan berikutnya, Ken disibukkan dengan pekerjaan tersebut, atas restu Dr. Seiden. Hingga karena kesibukannya itulah, pada suatu sore Ken menyadari bahwa, dia kehilangan suara-suaranya.
            Dalam proses penyembuhan Ken, Dr. Seiden memang memberikan obat yang berbeda. Dia selau menanyakan kepada Ken, “Adakah efek samping setelah kamu meminumnya?” Ken pun mulai menyadari pentingnya pertanyaan tersebut. Dia menarik kesimpulan bahwa obat-obat itulah yang sudah mengusir suara-suara iblis itu. Pada suatu terapi, Ken mengatakan kondisi kenyataan hidupnya dengan sebenar-benarnya kepada Dr. Seiden. Dia pula mengatakan tentang suara-suaranya yang sudah hilang. Mulai saat itulah lembaran baru dibuka oleh Ken.
            Untuk selanjutnya, Ken menerbitkan New York City Voice : A concumer Journal for mental health Advocacy. Ken pulalah yang menjadi penyunting The Reporter, sebuah berita berkala bulanan Aliansi nasional untuk penyakit mental/cabang NCY-Metro dan juga menjadi juru bicara Asosiasi kesehatan mental nasional “Partner in Care”. Selanjutnya, hari-hari Ken disibukkan dengan menjadi pendengar bagi orangtua-orangtua yang anaknya mengalami gangguan mental, pemberi solusi-solusi dari orang-orang yang memghubunginya, berbagi kisah hidupnya yang sempat hilang selama 32 tahun ke berbagai negeri.
Ken merasa kini hidupnya sangat jauh berbeda. Dia kini sudah mendapatkan kembali kehidupan, setelah selama 32 tahun suara-suaranya telah mengambil kehidupan darinya. Dengan didampingi oleh orang-orang yang peduli dengannya, keluarga baru yang selalu menyuportnya dari belakang dan dengan setahun dua kali dikunjungi oleh kedua orangtuanya (pada hari natal dan hari ulang tahunnya), Ken memiliki khayalan :: Pada abad baru ini, orang berpenyakit mental akan punya sarana untuk meninggalkan gubuk-gubuk pengasingan. Akhirnya kami akan bergabung bersama masyarakat pada umumnya, tempat kami akan mampu hidup sebagai individu-individu yang mandiri dan bukan sebagai kelompok orang yang dikenal dan ditakuti karena nama penyakit kami.



*Ken Steele meninggal dunia akibat serangan jantung di rumahnya, 7 Oktober 2000, dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke-52.



^*^ Semoga Bermanfaat Gan
By : Ita Tifuzh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar