Minggu, 13 Januari 2013

Teks Al-Quran dalam Memahami “Tingkahlaku” Teroris

Dekonstruksi Derrida
Jacques Derrida merupakan filsuf keturunan Yahudi yang lahir pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pemikiran Filsuf ini termasuk dalam postmoedernis. Teorinya adalah dekonstruksi, yang menyita banyak perhatian filsuf lainnya. Akan tetapi sebelum membahas terlalu jauh tentang Derrida dan pemikirannya, alangkah lebih baik kita membahas Hermeneutika terlebih dahulu.
Hermeneutika oleh Gadamer merupakan suatu upaya untuk menafsirkan teks. Tafsiran ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman tertentu. Terdapat dua konsep inti di dalam hermeneutika Gadamer. Konsep inti tersebut adalah peleburan horison-horison (fusion of horizons). Konsep ini berisi penjelasan Gadamer mengenai proses penafsiran yang melibatkan isi asli teks sekaligus pikiran maupun perasaan orang yang membacanya. Selanjutnya, konsep kedua adalah lingkaran hermeneutik. Pada konsep ini berisikan penjelasan Gadamer tentang bagaimana proses untuk memahami suatu teks. Teks baru bisa dipahami manakala terdapat pemahaman dari tiap bagiannya. Untuk memahami bagian-bagiannya, perlu dipahami terlebih dahulu maknanya. Sehingga, setiap bagian dalam suatu teks memiliki koherensi.  Saat keduanya dileburkan, akan menghasilkan tafsiran yang menciptakan pemahaman yang baru.
Pemikiran dari Derrida memang terlalu sulit untuk difahami. Akan tetapi, terdapat dua kata kunci untuk memahami hermeneutik Derrida, antara lain adalah dekonstruksi dan Differance.
Menurut Derrida sendiri dekonstruksi bukanlah sebuah motode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Dengan kata lain adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari destruksi Heidegger.
Mengubah realitas menurut Derrida berarti mengubah teks. Teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas seseorang sebelumnya harus mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform).
Dekonstruksi (metode dalam pembacaan teks) merupakan suatu metode pembacaan teks, yang menolak adanya absolutisitas tentang suatu kebenaran yang dikandung. Interpretasi atas suatu teks dipengaruhi oleh sejarah yang membentuknya, dan tidak ada makna final atau universal atas suatu teks. Menurut dekonstruksi Derrida hal-hal yang sudah benar dalam pembacaan teks, belum tentu benar demikian. Bila dilihat dari sisi sejarahnya ada beberapa hal yang tersembunyi. Suatu yang sudah dibenarkan menurut pendapat perseorangan Derrida dicoba untuk dipahami dengan sebuah dekonstruksi dimana dibalik kebenaran yang telah diyakini oleh semua orang tersebut terdapat suatu kontradiksi yang tersembunyi.
Konsep Derrida tentang dekonstruksi, secara implisit meramalkan suatu kekuatan superfisialitas dalam filsafat. Ramalan ini tersingkap dalam pendiriannya yang secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang “ada sebagai kehadiran”. Logosentris di sini dapat diartikan dengan penafsiran teks yang didominasi kelompok atau perseorangan.
Bagi Derrida, dekonstruksi digunakan sebagai strategi filsafat, politik, dan intelektual dalam upaya membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki. Dalam artian, dekonstruksi merupakan salah satu strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini telah ditekan atau ditindas. Bagi Derrida, tidak ada yang eksis di luar "teks", realitas sesungguhnya tidak ada karena semua realitas dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis, hanyalah "teks" saja. Oleh sebab itu, realitas terdiri dari berbagai "teks" dengan kebenaran yang plural. Maksudnya, tidak ada kebenaran universal. Sifat permanen tidak melekat pada teks. Sehingga, teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Dominan tidak berlaku di sini.
Differance berasal dari kata Perancis. Saat diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.” Dalam membedakan makna differance dan difference, kita tak hanya dengan mendengar ujaran karena pelafalannya sama, tetapi harus melihat tulisannya. Ini membuktikan tulisan lebih unggul daripada ujaran, seperti apa yang dipikirkan Derrida.
Di sini Derrida menunjukkan kelemahan dari ucapan untuk mengungungkapkan makna dengan menggunakan kata différance. Differance berasal dari kata difference yang mencakup tiga pengertian, yaitu:
1. to differ  untuk membedakan
2. differe (Latin) untuk menyebarkan,  
3. to defer untuk menunda.
Konsep diffĂ©rance ini sendiri dilatarbelakangi dengan adanya keinginan Derrida untuk mencoba menemukan bagaimana bahasa mempunyai arti. Saat itu, ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh kaum modernis yang sering keliru karena meletakkan ”arti” dalam kekuatan rasio. Terlebih lagi, kalimat manusia sering digunkaan untuk menggambarkan realitas yang sebenarnya dalam kehidupan manusia. Di sini, jalan bagi Derrida untuk mengkritik tradisi barat. Mereka (tradisi barat) menyatakan bahwa tulisan hanyalah gambaran atau representasi dari ucapan manusia. Hal ini  dikarenakan ucapan lebih langsung sifatnya dibandingkan dengan tulisan.

Memahami Dekonstruksi Derrida dalam Kacamata Islam
Dekonstruksi Derrida sendiri bila diulik dari kacamata agama, mempunyai dimensi teologis. Dekonstruksi lebih menunjuk pada ketidakmungkinan untuk membicarakan Tuhan karena pengaruh dan efek dari difference muncul dari penghormatan yang lain. Selanjutnya, dekonstruksi memperlihatkan dalam mencapai kebenaran atau kebenaran yang-tak-mungkin, berasal dari tidak adanya lagi horizon pemaknaan yang dapat dibangun untuk mengetahui kebenaran.
Derrida juga berbicara tentang iman akan yang tak-mungkin. Derrida merasakan hasrat yang lain dalam arti hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma. Ini dapat dibuktikan dengan pengalaman religius Derrida yang menganut agama Yahudi sejak kecil, tetapi akhirny beralih dari agama Yahudi dan masuk ke 'agama tanpa-agama' yaitu agama yang lebih merupakan pengalaman religius dan cara pandang dalam mendekati Ilahi sebagai yang-tak-mungkin.
Mari kita ambil satu kasus dalam pemahaman dekonstruksi Derrida ini. Bom Bali tahun 2002 di Legian dan berbeagai aliran dalam agama Islam contohnya. Pemboman ini dilakukan oleh teroris, yang notabenenya berasal dari kaum muslimin. Agama Islam adalah satu kepercayaan dengan satu kitab, akan tetapi bercabang menjadi banyak sekali aliran (70 sekian).  
Agama Islam memiliki kitab suci Al-Quran. Islam yang notabenenya memiliki hanya satu kitab suci, tetapi memiliki hampir 70 sekian aliran, seperti NU, Muhammadiah, HTI, LDII, dan yang sangat mengundang perhatian publik adalah, munculnya aliran baru yang diyakini sebagai aliran sesat, Ahmadiah. Hal demikian terjadi karena, penafsiran dari ayat suci atau yang kalau disebut Derrida di sini teks adalah berbeda-beda setiap orang dan golongan. Perbedaan tersebut dikuatkan oleh masing-masing golongan yang percaya, dilestarikan, hingga dalam satu agama Islam memiliki banyak aliran.
 Sayangnya, penafsiran teks ini juga melahirkan aliran sesat, bahkan sampai ada juga yang mengaku sebagai nabi terakhir. Yang menjadi pertanyaan bila dipandang dari teori dekonstruksi, apakah “tersangka” yang dipenjarakan karena mengaku sebagai nabi terakhir ini benar-benar nabi? Di Al-Quran sendiri tertulis nabi terakhir adalah nabi Muhammad SAW. Itulah yang nampak pada realitas kita sebagai orang kebanyakan. Jangan-jangan hanya kita saja yang salah mengartikan, bahwa nabi terakhir yang ditulis di teks kitab suci adalah Nabi Muhammad? Atau jangan-jangan “tersangka” itu saja yang sudah salah mengartikan teks Al-Quran tersebut? Si “tersangka” dapat berkata demikian, karena dia tidak menelan mentah-mentah begitu saja apa yang ada dalam teks Al-Quran. Dia mencoba mengkritisi pemaknaan bahasa di balik realitas tersebut. Yang menjadi permasalahan adalah, sebuah pertanyaan besar kita, siapa yang benar dan salah dalam mengartikan teks Al-Quran di sini? Mengingat, pemaknaan berbeda dalam teks Al-Quran juga tidak terdapat dalam aliran-aliran di agama Islam dan pengakuan manusia “tersangka” sebagai nabi terakhir ini saja.  
Di dalam kitab kuning tersebut juga, Tuhan memberikan wahyu bahwa penganut agama Islam hendaknya memerangi orang kafir. Dalam sejarah Islam, banyak sekali perang antara kaum muslimin yang dikomandoi Nabi dan Rosul untuk memerangi kaum Kafir Quraisy. Alhasil banyak sekali teroris berkedok kaum muslim melakukan penyerangan tersebut dalam bentuk pemboman suatu tempat, seperti Bom di Legian Bali, Hotel JW Mariot, dan masih banyak lagi. Lokasi Legian Bali sendiri dipilih karena, di Legian terdapat banyak kafe, diskotik, bar, hotel, dan tempat-tempat hiburan malam lainnya yang dianggap teoris sebagai tempat berkumpulnya kaum kafir. Maka tak tanggung-tanggung teroris mengebom tempat tersebut, yang mereka namakan sebagai memerangi kaum kafir.
Dalam hal ini, teroris sudah menyalahi aturan. Apakah benar demikian? Atau kita saja yang sudah salah memahami perintah Al-Quran? Menurut Derrida, kita tidak bisa menelan mentah-mentah suatu teks. Di suatu kebenaran, pasti terdapat kebenaran lainnya. Iya, memang benar bahwa kaum muslim diperintahkan untuk memerangi kaum kafir. Tapi coba sama-sama kita tilik pada penafsiran teks lainnya. Perintah itu turun di zaman sejarah, dengan kondisi yang sudah jauh berbeda dengan sekarang ini. Zaman sejarah adalah zaman di mana masa perjuangan penyebaran Islam yang diwarnai dengan perang, sehingga untuk bertahan pun harus dengan strategi perang juga. Tentu hal tersebut berbeda dengan zaman sekarang bukan? Terlebih lagi, pemboman di Legian bali ini juga sama-sama merengut nyawa beberapa kaum muslimin yang tidak berdosa. Lalu, sebenarnya teroris itu adalah sekumpulan manusia penderita psikopat, ataukah sekumpulan orang yang salah menafsirkan teks Al-Quran? Atau bahkan, mereka adalah sekumpulan manusia yang sudah benar dalam menafsirkan teks Al-Quran?
Pelajaran yang dapat kita ambil di sini, adalah tentang pilihan kita secara moral. Seperti yang dikatakan Derrida, kita boleh dan dibebaskan mengartikan suatu “teks” dengan berangkat dari balik realitas tersebut. Akan tetapi, setidaknya pemikiran kita harus bisa dipertanggungjawabkan. Apakah kita akan mengartikan suatu “teks” dengan mengambil tindakan yang bisa merugikan orang lain, atau tindakan yang bisa bermanfaat dan membuat orang lain merasa nyaman.



* saya jadi bertanya-tanya???


RESUME OF Open Your Eyes, Your Mind, Your Heart, Your Hands, And Change Your Life





1.      Saat ini adalah Masa Depan
Anak kecil, ketahuilah Bapak tidak sedang bekerjakeras tetapi Bapak hanya bekerja. Dan yang membuat Bapak gembira adalah karena apa yang Bapak kerjakan sesuai dengan keinginan hati Bapak.
Masa lalu adalah lukisan yang telah kusam sedangkan masa depan adalah lukisan yang abstrak dan saat ini adalah lukisan yang paling nyata.

2.      Tidak Ada yang tidak Berguna
Bukan tidak berguna kitalah yang belum sanggup mengungkapkan manfaat dari hal yang kita anggap tidak berguna.

3.      Hidup itu membutuhkan Kerjasama

4.      Syukurilah Hidup Ini
Sekecil apapun bagi orang yang bersyukur selalu lebih dari cukup. Namun sebanyak apa pun Bagi orang yang Tamak tetap saja merasa kekurangan.

5.      Jangan Meremehkan Orang Lain

6.      Melupakan Kebaikan diri dan Kesalahan Orang Lain
Dua hal yang harus Dilupakan dalam hidup ini adalah kebaikan kita kepada orang lain dan kesalahan orang lain terhadap kita.
Sebelum kita menghitung kebaikan yang telah kita lakukan sebaiknya terlebih dahulu kita harus menghitung kesalahan yang pernah kita perbuat.

7.      Kerjalah Hari ini Liburlah Esok
Waktu Bekerja bagi orang malas adalah besok dan hari ini adalah hari liburnya.
Bila kita mempunyai kesempatan untuk bekerja hari ini KERJAKANLAH Karena esok belum tentu ada kesempatan yang sama.

8.      Biarkan Orang Lain yang Menilai
Siapa pun diri kita biarkan orang lain ynag menilai. Dan penilaian mereka SELALU BENAR karena mereka lebih jelas melihat kita dibandingkan diri kita sendiri.

9.      Hidup Sewajarnya
Kebahagiaan Tidak terletak pada Hidup yang berlebihan tetapi Ada pada hidup yang berkecukupan.
Jika kita mampu hidup sewajarnya berarti kita telah berhasil mengendalikan hawa bafsu.

10. Ikhlas
Kebahagiaan ada pada setiap kebaikan. Melihat orang yang menerima kebaikan kita terlepas dari kesusahan kita pasti merasa bahagia.

11. Bhakti
Jika ingin hidup bahagia, bahagiakanlah kedua orangtuamu dengan restu mereka sesuatu yang tiada bisa menjadi bisa.

12. Menjadi Lebih Positif
Kebahagiaan itu letaknya di pikiran.

13. Kritiklah Aku
Kritik itu ibarat cermin yang mampu menembus pandang sesuatu yang tidak nampak di depan.

14. Tersenyumlah
Senyum adalah obat yang paling mujarab untuk mengobati penyakit hati dan dengan senyum masalah berat akan menjadi ringan serta masalah kecil pun lenyap.
Kisah tentang kakek separuh baya yang nampak muda, di mana menghadapi segala likaliku kehidupan dengan senyum.

15. Gagal = Tambah Kaya

16. Jujur = Sukses

17. Jangan Berhenti Belajar
Untuk sukses kita tidak perlu menjadi orang pintar melainkan kita cukup menjadi orang yang mau terus belajar.