Jumat, 20 Juni 2014

19 Juni 2014, Bersama Bapak di Puskesmas












          

19 Juni yang...... yang seperti ini


Kita selayaknya menghormati orang yang lebih tua, sebagaimana kita menghormati orang tua kita. Rasa cinta pada orang tua adalah alasan, kenapa kita harus menghormati orang yang lebih tua daripada kita, sekalipun kita tidak kenal. Iya, kita harus hormat pada mereka, untuk orang tua kita. Untuk orang tua kita. Dan untuk orang tua kita, kita juga diperkenankan untuk tidak hormat pada mereka, jika mereka tidak memperkeruh urusan orang tua kita.


 Hati anak mana yang tidak sakit, melihat bapaknya kluntang-kluntung kesana-kemari dipermainkan birokrasi yang tidak jelas di rumah sakit? Mana permainan birokrasi itu pun dibungkus dalam wajah yang sama sekali tidak ramah. Dan di atas wajah mereka yang sama sekali tidak ramah, terpasang wajah bapak saya yang memelas karena menahan sakit.


Mungkin untuk saat ini, Tuhan membenarkan langkah saya untuk menggertak mereka. Iya, kulakukan itu. Pada akhirnya emosiku tidak terkontrol. Kugertak mereka di meja pendaftaran sampai akhirnya mereka menuntun kami ke ruang IGD. Ibu-ibu yang kutatap dengan mata membesar dan wajah garang, yang awalnya tadi tidak ramah, justru tatapannya kini menjadi lebih melembut. Mungkin mereka paham, inilah bukti rasa cinta anak pada bapaknya. Aku yakin, tatapannya yang mengatakan bahwa ia trenyuh melihatku bertindak demikian, meski aku menggertaknya dengan kasar dan tanpa hormat. Lalu, mereka berdua yang berada di meja pendaftaran menuntun kami, sampai akhirnya kami dilayani di ruang IGD.



Tapi derita tidak berakhir di sini saja. Emosiku kembali tersulut. Di IGD, setelah untuk ke sekian kalinya kami dipontang-pantingkan, kutatap bapak-bapak yang sudah lumayan sepuh dengan wajah tak bersahabat dan ucapan yang penuh dengan demo penekanan. Ahhhh, aku masih ingat, saat itu ada mbak-mbak yang menatapku aneh. Biar saja! Emang dia juga mau, bapaknya  yang lagi sakit diperlakukan kurang ramah di Puskesmas? Enggak kan? Makanya, udah, situ kerja jangan yang bener aja, tapi tonjolin juga sifat ramahnya!



Sampai akhirnya, ibu-ibu yang memeriksa bapak pun datang. Buset dah, gimana ya? Aku sebenarnya mau moles kalimatku ini dengan tidak vulgar, tapi, juju aja sih, ibuknya nggak ramah sama sekali! Serius deh! Jujur ibuk yang memeriksa bapak nggak ramah! Udah tau bapak sakit, eh masih aja dia “nyerocos pake mulutnya yang nyebelin” (sorry, aku udah nggak bisa nahan emosi ni sepertinya haha), dengan bilang dan neken bapak, kenapa nggak datang tadi pagi? Bukankah ini udah siang dan pendaftaran tutup?



Buseeeettt ibuk! Orang sakit mah kagak lihat jam yak! Emang situ mau, bapaknya tiba-tiba terserang penyakit, missal katakanlah jam 6 sore, terus nggak ada Puskesmas atau rumah skait yang mau kasih tindakan hanya gara-gara “SUDAH BUKAN JAM KERJA!” Ibuk mau nasib bapak Ibuk seperti itu?



Ya, sebagai manusia yang punya harga diri, tentu bapak saya bilang lah ya, kalau memang sakitnya baru terasa. Dan sungguh seandainya kalian mellihat ekspresi bapak saya siang itu, sudah tak bertenaga, tak bergairah, ahhhhhh! Tapi masih bisa saja tu ibuk nyeletuk dengan bilang, “Aku cuma bilang aja kok, Pak!”


Halo Ibuk, gue ngerti banget! Ibuk itu emang nggak mau kalah! Sebenarnya sehebat apa sih Anda!



Namun, sudahlah! Kalian tahu, apa? Alhamdulillah pada akhirnya ibuk-ibuk itu ramah pada bapak. Ibuk-ibuk itu juga menatapku saat menasihati bapak untuk ini-itu. Aku jadi ingat, dengan orang yang aku gertak di meja pendaftaran tadi. Mereka sama sekali tidak marah. Iya, mereka tidak marah sempatku gertak seperti tadi. Malah mereka yang menuntun kami sampai akhirnya bapak mendpaat tindakan. Iya, aku yakin. Mereka semua melihat tingkahku yang “memang belum begitu dewasa” ini dengan pandangan lain. Mereka tidak melihatku sebagai seorang perempuan yang suka merajuk dan mengamuk. Mereka justru melihatku sebagai seorang anak yang saking sayangnya pada sang bapak, sampai akhirnya terpaksa marah-marah seperti tadi.



Oke guys, kalian tahu apa tujuanku menulis ini? Aku hanya ingin menyampaikan pengalamanku yang kurang menyenangkan dengan yang namanya petugas Puskesmas. Kalian tahu, terakhir kali aku ke Puskesmas juga dalam keadaan marah-marah. Selang beberapa bulan atau beberapa tahun, Mas Dedi juga mendapati pengalaman yang kurang menyenangkan di Puskesma dari segi keramahan. Dan kali ini, aku kembali mendapatinya.


Aku bukan menyalahkan mereka. Jujur, aku menulis ini bukan untuk menyalahkan mereka. Aku justru mau berbagi sesuatu dengan kalian. Apa kalian pernah membayangkan, berapa gaji mereka? tidak banyak, percayalah! Guru, petugas medis, adalah profesi yang ‘sakral’. Tapi justru untuk profesi sepenting itu, mereka dibayar dengan upah rendah.



Aku mengundang kalian pada diskusi kecil. Bagaimana menurutmu tentang hal ini? Kalau aku boleh berpendapat, memang sih mereka dibayar dengan upah rendah. Namun, apakah respon dari kekecewaan itu berbentuk perlakuan yang tidak ramah dengan pasien? Mereka menumbalkan pasien atas kekecewaan yang seharusnya mereka tunjukkan pada pemerintah dan Negara.



Entahlah, kalau pendapatku sih, itu adalah urusan dunia medis dengan Negara. Tolong bedakan saja hubungan tersebut, karena di sini ada dua hubungan. Pertama hubungan dunia medis dengan negara. Kedua, hubungan dunia medis dengan masyarakat.



Dan aku bersukur, pada akhirnya mereka ramah dengan bapak.



Mungkin kalian bingung, tulisanku ini mau dibawa kemana sih?hahaha, sudah kukatakan, aku memancing diskusi di sini. Silahkan berpendapat terkait pengalaman dan pola pemikiranku ini :)

Selasa, 17 Juni 2014

ArtJog 14


             Selamat datang di kota seribu senyuman, kota yang menawarkan kenyamanan. Kota istimewa ini juga milikmu. Surganya para sastrawan. Istana bagi mahakarya para seniman. Selamat datang di Artjog 14. 
 
            #Selamat datang di Taman Budaya Yogyakarta. Selamat datang di sambung tali silaturahim SYTL


             * We are, SYTL!!! Welcome to our world!!! 
          Ini hanyalah sebagian kecil dari panitia SYTL. Kebetulan, cuma kami berempat yang sedang free tidak ada acara pada suatu sore di hari Minggu yang tiba-tiba mendung dan hujan itu. Sebagian dari kami pun, sudah meninggalkan Jogja. So, hanya beberapa saja yang masih di Jogja. Hanya beberapa saja yang tidak sedang beragenda di sore itu :)



* Makhluk luar angkasa ini baik. Mereka mau diajak kami berfoto ria.
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014!


* Bintang di dinding, besar sekali!!! (Mengingatkanmu pada ost sinetron Bidadari)
Lihatlah dua bintang besar itu! Kami berdiri di depannya! Mimpi kami ada di sana! Perjuangkanlah! Buktinya, kami mampu meraih bintang di langit, dan meletakkannya di dinding, di belakang kami! Kami berdiri di depannya, bintang yang telah kami raih!


* Ternyata sekarang bukan buaya darat lagi ya, tapi buaya dinding!
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014! 



* Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini? Bisakah kamu membaca pesan yang terkandung di dalamnya? Makanya, datang dong ke ArtJog14! Masih sampai tanggal 22 Juni 2014 loh!


* Grafiti! Di sepanjang jalan Jogja memang banyak grafiti! Mereka juga mampir ke ArtJog 14 loh! 


* Seniman itu, update perkembangan zaman! Seniman itu, pandai membaca suasana di tengah masyarakat! Tak heran tahun ini, mereka membuat mahakarya semacam ini.

Itok, di antara 8 pilihan. Pilih yang mana ya?


Itok, di antara 4 pilihan. Pilih yang mana ya?


* Kalau kalian warga Jogja atau pernah berkunjung di Jogja, pasti kalian sering atau pernah mendapati ini di sepanjang jalan dan sudut!



* Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini? Bagaimana pendapatmu tentang fotoku? haha


* Paling suka sama foto ini nih! Aku berdiri di antara dua maha karya, lukisan dua perempuan bercadar. Bagaimana pendapatmu tentang dua perempuan bercadar ini? Bagaimana pendapatmu tentang fotoku? haha


* Warna-warni Simfoni. Guys, kalian tak tergantikan. Pernah bersama kalian menyelenggara salah satu acara besar di UGM adalah salah satu kebanggan untukku! Masih berhubungan dan sering hang out bareng kalian pun, menjadi slaah satu kebangganku!


* Mahakarya dari uang seratus ribu.
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014! 


* Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014!



* Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini?
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014!


* Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini?
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014! 


* Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini?
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014!


* Subhanallah! Seniman yang begitu luar biasa dalam mengagungkan suatu agama! Lihatlah, buah belimbing yang mirip dengan kitab suci Al-Quran! Subhanallah!


* Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini?
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014! 


* Pak Karno, pahlawan revolusi yang tak pernah terganti. Pak Karno aja mampir ke ArtJog 14, masak kamu enggak?


* Ini adalah slide. Saat berhasil diabadikan dalam foto, gambar yang tertangkap adalah pisau, garpu, dan tangan. Bagaimana pendapatmu tentang mahakarya ini?
Penasaran, siapa seniman di balik mahakarya ini? Datang dong ke ArtJog 14! Acara masih sampai tanggal 22 Juni 2014!




Tentu masih banyak lagi mahakarya dalam gelaran ArtJog 14. Penasaran? Tertarik? Bukan warga Jogja namanya, kalau belum berkunjung ke ArtJog 14! Bukan pecinta Jogja namanya, kalau belum berkunjung ke ArtJog 14! :D


Salam
















Sabtu, 14 Juni 2014

Bapak, Alasan Aku Ada



Assalamualaikum, Bapak.

Selamat pagi, Bapak. Selamat siang, Bapak. Selamat malam, jika Bapak baru membaca suratku di malam hari. Selamat untuk apa saja yang sedang Bapak lakukan ketika menerima dan membaca surat ini. Selamat apapun, Bapak.

Bapak, bagaimana kabar Bapak? Bgaiamana keluarga di rumah? Bapak sehatkah? Mamah bagaimana? Ahhhh, kenapa jadi kaku seperti ini ya, Pak?

Susah, Pak. Susah membuat suatu pengantar surat untuk bercerita pada Bapak. Bercerita tentang kehidupanku di sini. Bercerita tentang warna-warni kehidupan kampus dan juga bagaimana hiruk pikuk suasana yang mendewasakanku selama di sini. Aku tak terbiasa, Pak. Yang biasa bagiku, bercerita pada mamah karena beliaulah yang paling mudah dicari di rumah. Ahhh, jadi ingat. Seringkali dalam perjalanan pulang ke rumah saat pulang sekolah, wajahku sudah muram. Bahkan tak jarang aku menangis sesenggukan di sepanjang perjalanan menuju rumah karena ulah teman-temanku yang jail dan nakal di masa kanak-kanak. Begitu kubuka pintu, wajah mamahlah yang langsung kudapat. Beliau lalu memeluk dan membelai rambutku saat aku mulai bercerita. Setelah itu, sudah.

Rasanya semua masalah sudah selesai. Rasanya aku lupa kalau hari itu dan kemarin-kemarin aku pulang dalam keadaan menangis. Meski kemungkinan hari seok aku akan pulang dalam keadaan menangis lagi, aku tak takut. Entah mengapa tak sedikit pun ketakutan pada apapun muncul jika aku dalam pelukan mamah. Mamahlah yang menghapus mendung durja di raut wajahku, Pak. Mamah yang menghapusnya, hanya mamah saja. Ketika sore tiba, aku tak memiliki alasan bersedih lagi. Saat itulah Bapak di rumah. Untuknya aku tak perlu mengungkit kesedihanku hari itu.

Ahhh, langit sudah bertabur bintang! Ternyata sudah malam, Bapak. Tentunya aku harus belajar bukan? Bapak menasihatiku untuk belajar keras agar menjadi anak yang cerdas. Kewajibanku adalah menjadi lebih sukses dari dan melebihi Bapak. Itu nasihat Bapak, bukan? Agar waktu yang Bapak alokasikan untuk bekerja tidak terbuang percuma. Agar tidak sia-sia selama ini Bapak bekerja banting tulang. Nasihat Bapak membuatku semakin giat.

Setiap malam aku belajar menghadapi ulangan esok harinya. Ketika ujian SD semakin dekat, Bapak menuntutku semakin giat. Lalu, usahaku harus semakin keras ketika tiba-tiba aku masuk SMP. Ulangan menjadi lebih sering mampir di masa SMP. Aku yang waktu itu masih SMP tak bisa mengelak. Kuhadapi ulangan dari tahun ke tahun sampai akhirnya ujian kelulusan SMP tiba. Masuk SMA yang kata orang adalah masa putih abu-abu, tentu memberikan tantangan yang lebih besar. Aku yakin Bapak akan menasihatiku untuk belajar lebih giat. Aku pun belajar semakin keras, dari sore sampai menjelang waktu tidur aku belajar. Aku mengurung diri di kamar dari sore sampai malam itu juga dan baru keluar ketika jam makan malam tiba atau sekadar ke kamar mandi. Malam-malam yang kulalui adalah untuk belajar. Tiada waktu tanpa belajar. Malam Minggu ketika aku boleh meninggalkan meja belajar, teman-teman seumuranku mengajak jalan keluar. Malam Minggu bagi kebanyakan orang seakan menjadi waktu untuk sahabat ya, bukan kerabat? Saban hari aku memikirkannya. Kapan malam untuk keluarga itu tiba, sampai akhirnya, tahu-tahu aku harus menghadapi ujian kelulusan SMA.

Jenuh bukan, Pak, mengikuti ritme datar yang demikian?  Jenuh. Aku sebagai siswa pun jenuh. Begitu pula Bapak yang tentu lebih jenuh. Jenuh, lelah, dan letih lebih Bapak rasakan. Tidak ingin mengecewakan aktivitas yang membuat Bapak kelelahan di malam hari, saban malam aku belajar saat Bapak istirahat. Dan ketika Bapak benar-benar istirahat (pensiun), adalah saat di mana aku dinyatakan lulus SMA.

Tapi Bapak tahu? Ada yang menyesakkan di tengah merdekanya aku sebagai siswa dan Bapak sebagai abdi negara. Aku sempat berpikir. Setelah Bapak pensiun dari tempat yang sudah merenggut momen sarapan bersama kita, kita bisa memulainya dari enol lagi. Aku membayangkan setelah kita sama-sama merdeka, kita bisa duduk melingkari satu meja saat sarapan pagi. Senangnya membayangkan itu. Setiap hari, tentu akan kunanti esok dengan suka cita menyambut momen ‘sakral’ itu. Aku pun mengira akan mendapati Bapak di depan pintu saat aku pulang.          

Namun, ternyata masih belum bisa demikian Bapak. Sekarang ketika bangun di pagi hari, semua suasananya sudah berubah, lebih dari yang kubayangkan sebelumnya. Jangankan hanya bangun pagi, sarapan pun berubah total. Bahkan selain tidak ada Bapak, tidak ada pula mamah yang memasakkanku sarapan dan menemaniku di meja makan. Tidak ada, Bapak. Dan bukan Bapak yang kudapati di depan pintu saat aku pulang, bukan pula mamah. Aku justru mendapati ruang sempit yang langsung menyuguhkan kasur dan rak buku yang di dalamnya berjejalan buku-buku kuliah dan novel-novel yang kulahap ketika tiba-tiba aku merasa asing di sini. Iya, Pak. Di saat kesempatan bersama Bapak datang, akulah yang harus pergi ke kota orang untuk melanjutkan jenjang studiku. Aku yakin Bapak akan menasihatiku, “Semua ini, demi masa depanmu, Nak.”

Bapak, ternyata aku bisa bercerita banyak ya? Ahhh, menurutku ini bukan semacam cerita. Mungkin inilah yang namanya mengaduh dan, mungkinkah mengeluh? Bapak, tidak! Aku tidak mengeluh, Bapak. Aku hanya ingin mengingatkan masa-masa terbuang yang seharusnya menjadi kebersamaan kita. Kenapa justru mengaduh tentang masa lalu yang kukatakan lewat surat ini? Jujur aku masih kesulitan dan merasa kaku untuk menceRitakan warna-warni kuliahku dengan Bapak.

Mungkin kalau ada mamah di sini, aku bisa dengan mudah bercerita. Tanpa aku berusaha keras merangkai serangkaian diksi pun, mamah pasti memahami ceritaku. Karenanya, aku akan lebih mudah bercerita sampai mengalir sudah semua cerita tanpa bisa kuhentikan kecuali bila air mataku sudah berhenti mengalir. Semua lebih mudah kalau ada mamah. Namun di lain itu, aku pun tak akan dengan mudah mendapat kesempatan melanjutkan belajar di kota pelajar ini, jika tidak ada Bapak.

Bapak, kita memang jarang memiliki kesemptan bersama. Aku iri dengan teman-temanku yang dekat dengan ayah mereka. Aku iri pada teman-temanku yang begitu mudah menceritakan bagaimana sekolahnya pada bapaknya. Namun, ternyata banyak juga dari mereka yang iri padaku. Mereka iri karena bapak mereka tidak cukup mampu untuk membiayai kuliah di universitas ternama negeri ini. Iya, Bapak. Aku yang iri pada mereka, jutru mereka juga iri kepadaku.

Bapak, selama di sini aku semakin dewasa. Keberadaanku di kota orang membuatku menjadi benar-benar paham. Perjalananku sampai saat ini adalah bukti cinta Bapak. Bukti cinta yang sempat tertutupi atas momen sarapan yang hilang. Dan aku benar-benar sadar. Adanya aku adalah bukti cinta Bapak yang paling nyata. Adanya aku yang berdiri tegak adalah alasan punggung Bapak yang tegak saat bekerja. Saat ini dan nanti, lariku akan melesat semakin cepat mengejar mimpi. Nanti, sejauh mana kaki ini berlari, dia tak akan pernah menjauh dari sosok yang membuatnya melangkah jauh. Bapak, sejauh mana pun nanti aku berlari, kaki ini selalu berporos pada sosok yang membuatnya “ada dan bisa”.  

Wassalamualaikum, Bapak.


Putrimu, yang terus berlari meraih mimpi, sampai saat ini dan nanti.