Sabtu, 14 Juni 2014

Bapak, Alasan Aku Ada



Assalamualaikum, Bapak.

Selamat pagi, Bapak. Selamat siang, Bapak. Selamat malam, jika Bapak baru membaca suratku di malam hari. Selamat untuk apa saja yang sedang Bapak lakukan ketika menerima dan membaca surat ini. Selamat apapun, Bapak.

Bapak, bagaimana kabar Bapak? Bgaiamana keluarga di rumah? Bapak sehatkah? Mamah bagaimana? Ahhhh, kenapa jadi kaku seperti ini ya, Pak?

Susah, Pak. Susah membuat suatu pengantar surat untuk bercerita pada Bapak. Bercerita tentang kehidupanku di sini. Bercerita tentang warna-warni kehidupan kampus dan juga bagaimana hiruk pikuk suasana yang mendewasakanku selama di sini. Aku tak terbiasa, Pak. Yang biasa bagiku, bercerita pada mamah karena beliaulah yang paling mudah dicari di rumah. Ahhh, jadi ingat. Seringkali dalam perjalanan pulang ke rumah saat pulang sekolah, wajahku sudah muram. Bahkan tak jarang aku menangis sesenggukan di sepanjang perjalanan menuju rumah karena ulah teman-temanku yang jail dan nakal di masa kanak-kanak. Begitu kubuka pintu, wajah mamahlah yang langsung kudapat. Beliau lalu memeluk dan membelai rambutku saat aku mulai bercerita. Setelah itu, sudah.

Rasanya semua masalah sudah selesai. Rasanya aku lupa kalau hari itu dan kemarin-kemarin aku pulang dalam keadaan menangis. Meski kemungkinan hari seok aku akan pulang dalam keadaan menangis lagi, aku tak takut. Entah mengapa tak sedikit pun ketakutan pada apapun muncul jika aku dalam pelukan mamah. Mamahlah yang menghapus mendung durja di raut wajahku, Pak. Mamah yang menghapusnya, hanya mamah saja. Ketika sore tiba, aku tak memiliki alasan bersedih lagi. Saat itulah Bapak di rumah. Untuknya aku tak perlu mengungkit kesedihanku hari itu.

Ahhh, langit sudah bertabur bintang! Ternyata sudah malam, Bapak. Tentunya aku harus belajar bukan? Bapak menasihatiku untuk belajar keras agar menjadi anak yang cerdas. Kewajibanku adalah menjadi lebih sukses dari dan melebihi Bapak. Itu nasihat Bapak, bukan? Agar waktu yang Bapak alokasikan untuk bekerja tidak terbuang percuma. Agar tidak sia-sia selama ini Bapak bekerja banting tulang. Nasihat Bapak membuatku semakin giat.

Setiap malam aku belajar menghadapi ulangan esok harinya. Ketika ujian SD semakin dekat, Bapak menuntutku semakin giat. Lalu, usahaku harus semakin keras ketika tiba-tiba aku masuk SMP. Ulangan menjadi lebih sering mampir di masa SMP. Aku yang waktu itu masih SMP tak bisa mengelak. Kuhadapi ulangan dari tahun ke tahun sampai akhirnya ujian kelulusan SMP tiba. Masuk SMA yang kata orang adalah masa putih abu-abu, tentu memberikan tantangan yang lebih besar. Aku yakin Bapak akan menasihatiku untuk belajar lebih giat. Aku pun belajar semakin keras, dari sore sampai menjelang waktu tidur aku belajar. Aku mengurung diri di kamar dari sore sampai malam itu juga dan baru keluar ketika jam makan malam tiba atau sekadar ke kamar mandi. Malam-malam yang kulalui adalah untuk belajar. Tiada waktu tanpa belajar. Malam Minggu ketika aku boleh meninggalkan meja belajar, teman-teman seumuranku mengajak jalan keluar. Malam Minggu bagi kebanyakan orang seakan menjadi waktu untuk sahabat ya, bukan kerabat? Saban hari aku memikirkannya. Kapan malam untuk keluarga itu tiba, sampai akhirnya, tahu-tahu aku harus menghadapi ujian kelulusan SMA.

Jenuh bukan, Pak, mengikuti ritme datar yang demikian?  Jenuh. Aku sebagai siswa pun jenuh. Begitu pula Bapak yang tentu lebih jenuh. Jenuh, lelah, dan letih lebih Bapak rasakan. Tidak ingin mengecewakan aktivitas yang membuat Bapak kelelahan di malam hari, saban malam aku belajar saat Bapak istirahat. Dan ketika Bapak benar-benar istirahat (pensiun), adalah saat di mana aku dinyatakan lulus SMA.

Tapi Bapak tahu? Ada yang menyesakkan di tengah merdekanya aku sebagai siswa dan Bapak sebagai abdi negara. Aku sempat berpikir. Setelah Bapak pensiun dari tempat yang sudah merenggut momen sarapan bersama kita, kita bisa memulainya dari enol lagi. Aku membayangkan setelah kita sama-sama merdeka, kita bisa duduk melingkari satu meja saat sarapan pagi. Senangnya membayangkan itu. Setiap hari, tentu akan kunanti esok dengan suka cita menyambut momen ‘sakral’ itu. Aku pun mengira akan mendapati Bapak di depan pintu saat aku pulang.          

Namun, ternyata masih belum bisa demikian Bapak. Sekarang ketika bangun di pagi hari, semua suasananya sudah berubah, lebih dari yang kubayangkan sebelumnya. Jangankan hanya bangun pagi, sarapan pun berubah total. Bahkan selain tidak ada Bapak, tidak ada pula mamah yang memasakkanku sarapan dan menemaniku di meja makan. Tidak ada, Bapak. Dan bukan Bapak yang kudapati di depan pintu saat aku pulang, bukan pula mamah. Aku justru mendapati ruang sempit yang langsung menyuguhkan kasur dan rak buku yang di dalamnya berjejalan buku-buku kuliah dan novel-novel yang kulahap ketika tiba-tiba aku merasa asing di sini. Iya, Pak. Di saat kesempatan bersama Bapak datang, akulah yang harus pergi ke kota orang untuk melanjutkan jenjang studiku. Aku yakin Bapak akan menasihatiku, “Semua ini, demi masa depanmu, Nak.”

Bapak, ternyata aku bisa bercerita banyak ya? Ahhh, menurutku ini bukan semacam cerita. Mungkin inilah yang namanya mengaduh dan, mungkinkah mengeluh? Bapak, tidak! Aku tidak mengeluh, Bapak. Aku hanya ingin mengingatkan masa-masa terbuang yang seharusnya menjadi kebersamaan kita. Kenapa justru mengaduh tentang masa lalu yang kukatakan lewat surat ini? Jujur aku masih kesulitan dan merasa kaku untuk menceRitakan warna-warni kuliahku dengan Bapak.

Mungkin kalau ada mamah di sini, aku bisa dengan mudah bercerita. Tanpa aku berusaha keras merangkai serangkaian diksi pun, mamah pasti memahami ceritaku. Karenanya, aku akan lebih mudah bercerita sampai mengalir sudah semua cerita tanpa bisa kuhentikan kecuali bila air mataku sudah berhenti mengalir. Semua lebih mudah kalau ada mamah. Namun di lain itu, aku pun tak akan dengan mudah mendapat kesempatan melanjutkan belajar di kota pelajar ini, jika tidak ada Bapak.

Bapak, kita memang jarang memiliki kesemptan bersama. Aku iri dengan teman-temanku yang dekat dengan ayah mereka. Aku iri pada teman-temanku yang begitu mudah menceritakan bagaimana sekolahnya pada bapaknya. Namun, ternyata banyak juga dari mereka yang iri padaku. Mereka iri karena bapak mereka tidak cukup mampu untuk membiayai kuliah di universitas ternama negeri ini. Iya, Bapak. Aku yang iri pada mereka, jutru mereka juga iri kepadaku.

Bapak, selama di sini aku semakin dewasa. Keberadaanku di kota orang membuatku menjadi benar-benar paham. Perjalananku sampai saat ini adalah bukti cinta Bapak. Bukti cinta yang sempat tertutupi atas momen sarapan yang hilang. Dan aku benar-benar sadar. Adanya aku adalah bukti cinta Bapak yang paling nyata. Adanya aku yang berdiri tegak adalah alasan punggung Bapak yang tegak saat bekerja. Saat ini dan nanti, lariku akan melesat semakin cepat mengejar mimpi. Nanti, sejauh mana kaki ini berlari, dia tak akan pernah menjauh dari sosok yang membuatnya melangkah jauh. Bapak, sejauh mana pun nanti aku berlari, kaki ini selalu berporos pada sosok yang membuatnya “ada dan bisa”.  

Wassalamualaikum, Bapak.


Putrimu, yang terus berlari meraih mimpi, sampai saat ini dan nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar